[23] The Worst Surprise

34.2K 4.2K 33
                                    

Chiko menghentikan motornya di depan pagar rumah Velya. Sepanjang perjalanan pulang dari mall tadi, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Chiko sudah coba memancing omelan Velya, dengan sengaja mengebut karena tahu gadis itu tidak pernah suka ngebut, tetap saja tidak berhasil. Velya tidak mengacuhkannya.

Thanks,” ucap Velya, begitu turun dari motor dan mengembalikan helm pada Chiko. Dia berbalik membuka pagar dan melangkah masuk ke rumahnya.

Chiko memastikan Velya sudah menghilang di balik pintu rumah yang tertutup, dia baru meneruskan laju motor menuju rumahnya sendiri. Dahinya berkerut saat mendapati sebuah BMW putih terparkir di carport. Itu mobil ibunya, dan seingatnya dia tidak mendapat pesan apa pun mengenai kepulangan beliau hari ini. Setelah memarkir motornya di sebelah mobil itu, Chiko bergegas masuk ke dalam rumah.

“Dari mana, Ko?”

Sapaan itu menyambutnya saat melintasi ruang tengah. Maminya sedang duduk di sofa, menyilang kaki sembari memainkan tablet, tanpa menoleh ke arahnya.

Chiko melempar kunci motor ke buffet, seraya meneruskan langkah ke dapur. “Jalan sama Velya.”

“Jalan terus. Sekolah kamu beres nggak?”

Chiko membuka pintu lemari es, mengambil botol berisi jus jeruk. Tanpa mau repot mengambil gelas, dia meneguk langsung dari botolnya. “Mami ngapain pulang tiba-tiba?”

“Kapan kamu ujian?”

Kebiasaan membalas pertanyaan dengan pertanyaan, alih-alih jawaban, bukan hal baru. Chiko sama sekali tidak heran. “April.” Dia memutuskan mengakhiri lingkaran setan saling bertanya tanpa jawaban seperti itu.

“Masih mau ke Prancis?”

Chiko menahan diri untuk tidak mendengus. Maminya bertanya seolah keputusan itu ada di tangannya, dan dia bisa berkata tidak. Dia bisa menolak, kalau sudah siap hidup sebatang kara dan melepas semua fasilitas yang menopang hidupnya selama ini.

Hidup dengan selalu ditinggal orangtuanya saja sudah cukup  menyebalkan, apalagi ditambah dia menjadi kere mendadak. Tidak, terima kasih. Dia memilih mati saja.

“Chiko?”

“Emang aku punya pilihan lain?” cibirnya.

“Punya.”

Chiko refleks mengerjap, menatap mamanya tidak percaya. “Oh, ya?” tanyanya, sangsi.

Mami mengangguk, membuat Chiko otomatis mendekat dan duduk di sebelah beliau. Mami berdeham, meletakkan tablet di pangkuan, dan memberi perhatian penuh pada Chiko. “Ada dua pilihan,” Mami memulai. “Ikut Mami ke Amerika. Kalau mau tetap ke Prancis, kamu ikut papá kamu.”

Meskipun sangat jarang menghabiskan waktu bersama, Chiko tetap bisa merasakan saat ada sesuatu yang salah. Atau ada yang aneh pada kedua orangtuanya. Seperti saat ini, kalimat terakhir maminya memiliki arti lain baginya. Chiko tahu ada yang salah.

Are you ok, Mam?”

Sure.”

Really?”

Mami tidak langsung menjawab. Beliau memilih kembali menatap tabletnya.

Chiko menarik tablet itu, tidak peduli meskipun itu salah satu hal kurang ajar yang dilakukannya.

Mami melempar tatapan tajam penuh peringatan.

What’s wrong?” Chiko membalas tatapan maminya tanpa takut.

Fine.” Mami mengembuskan napas kasar. “Kamu bukan anak kecil lagi, jadi Mami nggak perlu coba bujuk atau jelasin macam-macam.”

Firasat buruk makin menguasai Chiko. Dia tidak yakin bisa mendengar semua penjabaran maminya dengan tetap bersikap tenang.

“Mami dan papá kamu mutusin buat pisah.”

Seperti ada tangan kasar yang mencubit jantung Chiko saat itu juga. Rasanya nyeri. Dia ingin menanyakan alasan, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Hanya bisa membeku, dengan pandangan kosong ke arah maminya.

“Kamu tahu ini bakal kejadian, Ko. Cepat atau lambat.”

“Jadi, aku nggak cuma jadi anak terlantar, tapi juga broken home?”

This is for our best.”

“Baik dari segi apa, Mami?”

Mami menghela napas pelan. “Hubungan yang dipaksain bertahun-tahun itu pelan-pelan jadi racun, Ko. Racun yang bakal bunuh kita dari dalam.”

Kalau tidak ingat yang berada di depannya ini ibu yang sudah mengandung dan melahirkannya, Chiko pasti sudah mengumpat. Dia muak.

Well, congratulation then. Happy for you. Both of you.”

Tanpa berminat mendengar penjelasan lebih jauh, Chiko memilih pergi dari sana. Maminya sama sekali tidak menahan, hingga dia membuka pintu dan membantingnya menutup.

***

Honestly Hurt [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang