Gusti baru akan menyendok bubur ayam ke mulut, ketika Chiko masuk ke kantin dan langsung menariknya berdiri.
“Sher, gue pinjem bentar, ya,” pamitnya pada Sheryl. Tanpa menunggu jawaban, Chiko membawa Gusti keluar dari sana.
“Apaan sih?” omel Gusti, mengentakan tangannya hingga terlepas dari pegangan Chiko. “Ganggu orang makan aja.”
Chiko tidak menjawab. Dia terus berjalan hingga mereka tiba di ruang peralatan olahraga. Beberapa atlet sekolah tampak sedang berkumpul di sana, yang langsung diam saat melihat kedatangan kedua senior itu.
“Lagi ngapain?” tanya Chiko pada gerombolan itu.
“Ng ... cuma ngobrol, Kak,” jawab salah satu dari mereka, yang dikenali Chiko sebagai salah satu anggota klub futsal sekolah.
“Nggak penting-penting amat, kan?” Chiko berkata tidak sabar. “Keluar gih, gue pinjem ruangannya.”
Kelima murid yang ada di sana tidak langsung menanggapi, memilih saling pandang sejenak.
“Woy! Keluar bentar!” bentak Chiko, kesal, membuat mereka semua sontak berdiri dan bergegas kucar-kacir keluar dari sana. “Nggak bisa banget dibilangin baik-baik,” dengusnya, seraya menutup pintu dengan debam keras begitu murid terakhir melewati pintu.
“PMS, ya, lo?” ledek Gusti, memilih duduk di salah satu matras yang biasa dipakai untuk senam lantai.
Chiko meraih sebuah bola kasti sebelum ikut duduk di depan Gusti. “Bingung gue.”
“Velya?”
Chiko mengangguk, memantulkan bola kasti di tangannya ke dinding, lalu menangkapnya, kembali melemparnya, terus begitu. “Aneh banget rasanya, Gus ....”
Gusti diam, memberi waktu Chiko untuk bercerita.
“Awalnya gue pikir ini wajar-wajar aja. Yah, seenggaknya sama aja kayak pacaran gue sebelumnya. Santai gitu, kan ....” Chiko memulai curhatnya. “Tapi tadi pas gue jemput dia, nggak tahu kenapa, gue salting.”
“Gugup?”
Chiko mengangguk. “Gue sampai nggak ikut sarapan karena sibuk nenangin diri. Terus pas dia keluar ... cantik lho, Gus.”
Gusti menjitak kepala Chiko sebagai tanggapan.
Chiko melanjutkan ceritanya, masih sembari memainkan bola kasti. “Gue masih kaget aja beneran pacaran sama dia. Masih ngerasa aneh. Tapi, makin gue pikirin, kayaknya yang bikin gue gini karena gue takut ngerusak dia.” Chiko menghela napas pelan. “Lo tahu sendirilah gue kalau pacaran gimana.”
Gusti kembali diam, membiarkan Chiko menyelesaikan ceritanya.
“Tadi aja pas berangkat, tas gue tetap di tengah, biar dia nggak bisa nempel. Tapi itu kayaknya bikin dia kesel deh. Soalnya pas nyampe parkiran, belum sempat matiin motor, dia udah turun, naruh helm, terus pergi gitu aja.”
“Udah lo ajak ngomong belum sekarang?”
“Ya, belumlah! Gue takut salah ngomong ntar. Makanya datengin elo.”
“Lo mau gue ngapain?”
“Nggak tahu ....” Chiko melempar bola kasti lebih kencang, membuat benda itu memantul lebih cepat dan akhirnya menggelinding ke sudut ruangan. “Gue harus gimana?”
Gusti geleng-geleng kepala, terlihat menahan geli. “Baru kali ini gue harus kasih masukan ‘gimana cara bersikap normal di depan pacar’ ke kucing garong.”
“Gue serius, Kampret.”
“Oke, oke ....” Gusti memasang tampang sok serius. “Ya, kalau lo mau normal, bersikap aja kayak biasa. Nggak usah terlalu dipikirin semuanya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Honestly Hurt [COMPLETED]
Novela JuvenilHonestly Hurt "Luka hatiku karena kamu..." a story by ELSA PUSPITA Bagi Velya, Chiko dan Gusti mewakili sosok kakak yang tidak pernah dimilikinya. Dia menyukai seluruh waktu yang dihabiskan bersama mereka. Mulai dari perhatian yang didapat sampai ke...