"Bagaimana kalau kita menikah saja?"
"Oke."
Ia berharap ditanya, bukan kejutan lanjutan. "Kamu gak nanya kenapa kita harus lakuin itu, Perjanjian yang akan kita buat nanti, serta sejumlah kerusuhan yang menanti saat kita pulang nanti?"Wanita itu mengangkat sebelah bahunya dengan lirikan malas. Rupanya Brendy yang ditegaknya membuat akal sehat sedikit menguap. "Kenapa? kita mempunyai alasan yang sama ntuk melakukan itu, soal semua itu bisa dibahas nanti, dan ... " Sepasang sorot mata Hijau Toska kak Tian membuatnya tergoda. "Sejak kapan 'lo – gue', berubah menjadi, 'aku – kamu', Kak Tian?"
Ia mengelus tengkuknya yang mendadak butuh perhatian. "Annisa, yang kamu hadapin nanti gak mudah, lo."
Ia menghabiskan gelas ketiga dan meneriakkan pesanan keempat kepada Bartender yang menatapnya takjub. "Aku sudah menghadapi separuh jalan susah, sebelum akhirnya nabrak Gunung Merapi di jalan buntu, jadi hal seperti ini kecil saja, Kak Tian. aku cukup mengenalkan diri ke orang tua beserta keluarga besar kamu, terus nikah, gitu, kan? Yang jadi pertanyaanku sebelum semua itu terjadi," Andai meminum Brendy membuatnya bisa membaca pikiran kak Tian, ia mungkin akan menghabiskannya sampai kedua Ginjalnya meledak. Karena ia ingin tahu arti senyum tipis itu. "Sampai kapan kita harus melakukan ini?"
Tian memperhatikan bagaimana bibir tipis yang selama ini mengeluarkan isakan tiap melihatnya saat masih kecil, kini memuntahkan rentetan kaliman yang berubah menjadi kode rahasia di kepalanya, membuatnya penasaran bagaimana rasanya kalau bibir tersebut ia kecup sedikit. "Sampai kita berdua menemukan alasan yang pas kenapa harus berpisah. Setuju?"
Anehnya, Nisa tak protes. "Punya anak?"
Proses bagaimana terjadinya hal itu, entah kenapa membuatnya tak sabar ingin segera duduk di depan penghulu, kalau perlu malam ini juga. "Kalau kamu mau."
'berarti ada seks.'
Gumaman penuh penilaian Nisa terdengar seperti penguji dalam tes wawancara kerja, dibandingkan kenikmatan didalamnya. "Kalau kamu gak ma.."
"Oke. Aku setuju."
Tian tak tau kenapa tersenyum sangat lebar sambil turun dari kursinya, merangkul pinggang langsing wanita itu, dan mencium bibirnya dengan senang. Mengabaikan suara terkejutnya Nisa.
"Annisa Dirgantara," ucapnya sambil melepaskan ciuman panas mereka dengan berat hati, tak ingin dijadikan tontonan oleh separuh kafee di sini. "Welcome to Pradipta Family."