Entah sudah berapa bulan gak lanjutin ini. Kenapa? aku pusing sendiri dengan karakter tokoh ceritaku ini. Rumitnya macem gimana gitu..
There's No Me, Without You.
Ia memberanikan diri mencium Nisa, berusaha tenang sambil mengelus punggung Nisa yang terasa sehalus Sutra saat wanita itu meresponnya dengan merangkul lehernya, mendekatkan diri hingga dada mereka saling bersentuhan, memancing gairahnya hingga nyaris lepas kendali saat bra hitam itu menggesek telak dadanya yang hanya dilapisi kaos putih tipis.
Setelah ini apa?
Terkadang, saat dirinya melihat pesawat melintas di langit, ia mendongkak seolah itu adalah pesawat yang dinaiki Nisa dan melambaikan tangan sembari tersenyum. Perasaan sentimental itu membuatnya tenggelam dalam lusinan pertanyaan dan berakhir membuatnya pusing.
Awalnya dia menawarkan pernikahan ini sebagai win - win solution dari sejuta permasalahan hidup lainnya. Tak ada yang pernah memberitahunya bahwa dibalik pernikahan tanpa cinta, akan ada perasaaan damba yang tumbuh setiap harinya, kehilangan tak terjelaskan saat Wanita yang menemaninya selama 24 Jam pergi meninggalkannya dengan seragam kebanggaan sambil menyeret koper kecil, serta tersiksa saat menyadari bahwa sebelum bertemu Nisa, hidupnya ternyata sesepi ini.
Kalau boleh ditambah lagi, Cinta pun dia tak tau arti serta fungsinya dalam pernikahan, jika ada penelitian yang menyebutkan bahwa perasaan itu akan hilang perlahan dalam kurun waktu 2 - 3 tahun. Bagaimana bisa ia mengagungkan perasaan yang muncul karena reaksi kimia yang terpicu oleh nafsu?
Sekarang, Apa yang sudah dberi Nisa selama 3 bulan ini, hingga harus merasakan semua keganjilan tanpa jawaban ini? Dia benci berada dalam situasi ini.
"Tian.." Nisa tak tahu mengapa kening Tian berkerut sangat dalam disertai ekspresi terganggu - ketimbang menikmati ciumannya. Sungguh, sangat jarang sekali dia melihat ekspresi tersebut. "Apa yang mengganggu pikiranmu?"
Tian tersenyum sambil meregangkan badan, menyembunyikan semua pertanyaan tak terjawab itu dalam pikirannya yang terdalam. "Gak ada."
Mereka saling bertatapan sedekat ini, namun Nisa melihat ada Tirai tepat didepan mereka, cukup mengganggu. "Tian.." Bisiknya sambil memainkan ujung kaos putih suaminya, memberanikan diri menatap tanpa kedip sorot mata hijau toska yang memabukkan. "Pakaianmu mengganggu."
Kalimat itu sederhana, tapi dia merasa tak nyaman.
Sekarang Nisa sudah melangkah maju tanpa busana didepannya, menunjukkan dirinya yang tak sempurna, sama seperti Hukum Negara saat ini.
Tapi, apa cuma itu yang Nisa tunjukkan padanya?
Nisa menghela napas, menghadapi Tian yang diam menatapnya dengan senyum sambil mengelus punggung tangannya benar - benar menguji kesabaran. "Aku gak jago baca pikiran orang, sayang."
"Aku tau."
"Kalau begitu, apa yang buat kamu diam?" Nisa merangkul Tian dan menggesekkan ujung hidungnya, "Apa yang kamu pikirkan?"
Cara Tian mengecup bibirnya, membuatnya menahan diri untuk tidak menjatuhkan suaminnya di lantai dan menguasainya. "Aku ingin kamu, Sebastian Pradipta, Suamiku."
Bisikan rendah dengan nada serta tatapan dingin yang menggoda, seperti merobek Tirai diantara mereka saat dirinya merespon dengan ciuman tanpa kendali, membiarkan tubuhnya memeluk Nisa erat, bahkan mengangkatnya tanpa merasa berat sama sekali, kemudian menjatuhkan perlahan istrinya diatas ranjang dengan bibir saling memagut. Desahan puas disertai cara Nisa menggesekkan pinggulnya dengan penuh sensual pada bagian dirinya, remasan kuat pada rambutnya, serta beratnya helaan napas Nisa menerima sentuhannya, benar - benar membuat gila.
Berpikir, Tian, Berpikir.
Dia melepas diri perlahan dari serbuan sensual istrinya, tersenyum kecil saat terdengar lenguhan tak terima yang keluar dari mulut tipis Nisa yang menggoda. "Nisa, dengar aku."
"Aku ingin kamu, Tian."
Ia mengelus ubun - ubun kepala Nisa dan menciumnya pelan. Harus ada yang berpikir logis diantara mereka. "Setelah ini, kita akan seperti suami istri baik secara Agama dan Hukum. Tak ada ruang untuk pria manapun yang pernah hidup dimasa lalumu. Apa kamu siap?"
Nisa bangkit dan duduk didepan Tian, memandang dirinya yang terlihat acak - acakan dari sorot mata menenangkan Suaminya itu. "Aku sudah meninggalkan semuanya, saat terbangun pada suatu pagi dan melihat segelas Susu Cokelat hangat disamping meja tidur, dengan senyummu sebagai ucapan selamat pagi. Hanya kamu, Tian. Apakah cukup?"
"Jangan berpikir." Nisa duduk dipangkuannya, dan menciumnya, tersenyum kecil saat pria itu merespon dengan memeluk pinggulnya, bahkan memberi tepukan kecil pada pantatnya. "Nikmati saja semuanya, Tian. Aku ingin menjadi milikmu."