(1) Rintangan.

5.1K 186 5
                                    



"Aku ingin putus!"

Ya Tuhan.. pagi – pagi sudah muncul drama didepan mejanya.

Tian yang asyik menghirup segelas kopi yang baru matang, melirik kearah pacarnya yang terlihat sangat marah - daripada sedih seperti wanita pada umumnya. "Kenapa?"

"Aku gak tahan lagi dengan perlakuan mamamu!"

Ia mendesah tanpa sadar. dalam 3 tahun terakhir ini, sudah 5 orang wanita yang mengeluh akan hal serupa, dan dia mulai lelah. "Oke."

Kini, giliran Lisa, calon mantan pacarnya kesekian yang melongo. "Kamu setuju begitu aja? Gak mau pertahanin hubungan kita?! rupanya aku udah buang waktu 1,5 tahun buat pria macam kamu, yah!"

"Lisa... aku penuhin keinginan kamu ntuk putus justru karna sadar diri bahwa kita gak akan bisa menikah."

"Tapi setidaknya kamu harus perjuangin aku didepan mama kamu, dong!"

"Aku gak bisa perjuangin orang yang udah nyerah duluan."

"Tap.. tapi, aku masih sayang sama kamu, Tian. aku pengen kamu perjuangin cinta kita ke mama kamu, aku ingin menikah, umurku sudah terlalu tua ntuk pacaran ala abegeh. Ayolah..."

Sisi manja yang dulu ia sukai, kini membuatnya muak. "Dari kamu bilang putus, aku udah gak ada niat ntuk balik lagi sama kamu."

"Kamu..."

"Maaf, Lisa, tapi kamu bisa pergi sekarang? aku ada rapat soalnya jam 9 pagi ini dan belum sarapan serta kurang tidur. tidak apa – apa, kan?"

Seharusnya dia menyingkirkan segelas air putih hangat dari atas mejanya ke tempat yang paling aman, karna sekarang isi gelasnya membasahi kemeja juga laporan kasus yang sedang dibacanya. Ia melirik wanita itu dengan kesal. "Puas?"

Mungkin setelah ini, dia harus mengucapkan terimakasih pada mamanya,  karna telah menyingkirkan satu lagi calon istri – yang berpotensi membuat dirinya menjadi korban KDRT. Karna wanita itu bersiap – siap melempar gelas ke arahnya. "Jangan sampai kamu duduk dikursi pesakitan setelah pulang dari sini, dengan setumpuk pasal dipundakmu, Lisa."

Wanita itu menghentakkan gelasnya diatas meja, lalu menatap tajam. "Gue sumpahin lo impoten, Sebastian Pradipta!"

Ia tertawa. "Lo tau bagaimana perkasa serta sehatnya gue setiap kita di ranjang selama beberapa bulan ini, sayang. Jadi itu gak akan pernah terjadi, bahkan sampai gue beruban sekalipun." Tak lupa ia menampilkan senyum yang biasanya muncul untuk membuat takut pengacara lawan, sebagai pemanis pertengkaran terakhir mereka.

Lisa rupanya siap – siap ingin meledak lagi walau sorot matanya sedikit takut, sebelum - mungkin saja punya hati nurani berbisik, dan memilih berbalik badan sambil menghentakkan kaki, lalu membanting pintu sangat keras hingga pigura yang tergantung di sisi kiri dinding bergetar.

Ia hanya bisa menggeleng sambil menekan tombol di meja. Tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu, ia mempersilahkan masuk. "Ada apa, pak?"

"Tolong ambilkan saya segelas air putih lagi, yah."

Fina, asistennya hanya tersenyum maklum. Kejadian seperti sudah tidak aneh lagi. bahkan, bosnya sendiri memiliki satu ruangan connecting - door berukuran cukup besar dengan fasilitas kos kelas premium, rak buku yang menutupi separuh dinding, serta TV Plasma ukuran cukup besar bila diadakan nonton bareng di Poskamling, semua ini membuat bosnya semakin malas pulang kalau lembur terlalu malam.

Lajang mah bebas lakuin apapun.

Ia mengangguk. Dalam hati bersyukur karna bos sedang tak memperhatikannya. 4 tahun menjadi sekretaris, ia masih tak kuat menahan pesona bosnya yang terpancar kuat dari sorot lembut pada sepasang bola mata berwarna hijau toska tersebut, belum lagi wajahnya yang luar biasa tampan serta sifat yang mudah peka akan perubahan sekecil apapun. wanita manapun takkan bisa lolos darinya kalau sudah begini. "Ada lagi, pak?"

Marriage Not DATING!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang