Tian mengintip dari balik pintu dapur ketika mencium aroma panggangan yang sangat disukainya, tersenyum melihat Nisa terlihat sangat nyaman menggunakan dapurnya – tentu saja berimbas terhadap timbangannya yang melonjak drastis. "Kamu bikin apa?"
Ia terlalu menghayati catatan resep di atas meja hingga tersentak, tersenyum ketika pria itu berdiri disisinya "Bikinin cemilan kesukaan kamu. Pisang ape."
Tian setengah melompat duduk di depan kitchen bar dengan pandangan sepenuhnya ke arah 4 potong pisang kepok yang sudah dipipihkan, tertata rapi diatas piring, siap disantap. "Tumben."
Ia menggigit ujung jari jempol ntuk menahan senyum ketika Tian persis seperti anak kecil baru melihat mainan terbaru, bernafsu mengambil piring berisi pisang hingga hampir jatuh itu ke hadapannya, mengolesi selai coklat, kemudian menaburkan cacahan kacang, serta eskrim coklat sebagai penutup sambil bersinandung.
"Kemaren, kan kamu cerita tentang pengalaman travelling di Makaasar serta jajanannya. Aku penasaran gimana bikinnya, ternyata gampang banget."
"jadi karna itu kamu pagi – pagi udah kabur ke pasar?" pukul 05.00 Pagi Nisa sudah setengah merengek sembari membangunkannya minta diantarkan ke pasar yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Membuatnya sempat berpikir Nisa mengigau karna baru pulang sekitar pukul 01.00 pagi setelah 'berkelana' ketiga kota sekaligus selama 4 hari, dan biasanya bangun kesiangan hingga ia yang menyiapkan sarapan serta makan siang.
Kebalik, kan?
Nisa mengangguk sambil melumuri pisang apenya dengan gula jawa yang sudah dicairkan, menaburkan sedikit kacang serta meises coklat, lalu memotongnya pelan, dan memakannya. "Rasanya gimana?"
"Ya karna kamu yang bikin, dan aku laper, jadinya enak."
Ia berdehem karna tenggorokannya serasa dikerubuti semut merah saat tak sengaja menoleh, langsung menatap belahan dada Nisa, karna daster yang dikenakan memiliki potongan leher cukup lebar. Dengan hati seberat 30 kg barbell ia mendongkak kea rah pisang ape yang ditusuk Nisa. Membuatnya tambah ngilu. "Makasih, yah sudah mau repot – repot bikinin, padahal kamu kan gak pinter masak."
"Aku baru tau loh, bahwa satu kalimat itu bisa ntuk memuji sekaligus menyindir secara halus, seriusan."
Sayang sekali hari ini Nisa mengepang dua rambutnya seperti gadis desa tak kenal mode, karna tangannya sangat gatal ntuk mengacak rambut sehitam jelaga itu hingga yang bersangkutan marah. "tapi suka, kan?"
"apaan coba." Elaknya sambil menghirup aroma susu coklat buatan Tian. pria itu selalu sukses membuat paginya yang selama ini kelabu, menjadi sedikit cerah dengan guyonan serta kedipan mata usil. "Tian, sibuk, gak hari ini?"
"mau ketemu klien sebentar di kantor jam 12 siang, setelah itu baca – baca berkas sebentar, kenapa?"
"Gak papa, Cuma nanya aja."
Tian berhenti makan dan menatap Nisa yang menunduk sambil membaca majalah di sampingnya. "Kamu mau minta ditemenin jalan lagi, yah?" tersenyum saat wajah sok cuek Nisa berubah merona. "Bilang aja, gak papa, kok."
"Aku mau minta temenin ke rumah tante Karen, sepatu pernikahan kita lupa dibalikkin karna terlalu cantik."
"Gak usah dikembalikan juga gak bikin beliau bangkrut, kok."
"Kamu gak mau dituduh punya istri gak tau malu, kan?"
Istri. Ah, kalimat itu membuat senyumnya semakin melebar, apalagi saat tangan bertekstur sehalus kain sutera mahal itu menyentuh keningnya. "Kamu sakit?"
Ia menggenggam tangan Nisa yang kini mengelus rambutnya, dan mengarahkannya ke dada. Membuat pipi chubby itu merona. "Kalau pernikahan itu rasanya seperti ini, mungkin dari dulu saja aku nikahnya."
"Sama yang lain?"
Tian mengedipkan mata sambil mencium punggung tangan kanan Nisa. "Sama kamu, tentunya."
Candaan Tian membuatnya mundur sembari menarik tangannya. Dia tak tau apa yang merasukinya pagi ini hingga berkeliling ditempat yang tak pernah ia datangi, memasakkan seseorang yang masih asing dalam kehidupannya, lalu duduk bersama seolah – olah mereka memang ditakdirkan bersama. Padahal tidak.
"Kamu tidur saja kalau masih ngantuk, nanti aku cuciin piringnya, gimana?" diamnya Nisa sembari menunduk menatap piring terlihat seperti usainya pembicaraan normal suami – istri baru menikah versi mereka.
Ia tersenyum sambil menarik Nisa yang berdiri dari kursi, dan mengecup pipi kiri Nisa saat wanita menoleh kearahnya. "Nanti mau aku bangunin jam berapa, sayang?"
Ekspresi dingin serta cara Nisa menarik tangannya, seakan ia baru saja menggali lebih lebar jarak antara mereka. "Nanti kamu bangunin pas mau berangkat kerja aja, yah."
***
"Kok gak dibangunin?"
Tian mendongkak kearah pintu saat mendengar suara datar namun lembut yang dikenalnya. Nisa terlihat sangat manis dengan dress serba hitam dari ujung kaki hingga kepala. "Kamu habis pergi ke pemakaman siapa?"
Nisa manyun sambil menatap ruangan Tian. 1 bulan mereka menikah, baru kali ini ia melihat perusahaan Tian serta ruang kerjanya sekaligus. Aura ruang kerjanya memang menenangkan, membuat siapapun betah lama – lama disini, namun kalau keterlaluan, bisa terasa mengintimidasi. persis seperti bosnya. "Kebiasaan banget sih nanya balik."
Tian berdiri dengan senyum lebar sambil mendorong kursi kayu kesukaannya yang selalu tersembunyi bak gadis pemalu di pojok ruangan, memberi isyarat mata agar Nisa duduk disampingnya, mengabaikan ekspresi merajuk namun pipi berwarna strawberry merekah dari pohon. "Kenapa? Kesepian, yah?"
Tian beraura sangat menyenangkan, membuat siapapun siap membuka diri seperti anak kecil melihat lingkungan baru dan berharap ntuk diterima balik, disertai sifat jahil juga kerlingan mata genit bak cowok baru beranjak puber saat menggoda, membuatnya lupa alasan mereka bersama, dan sesaat menerima kehadirannya.
Ini salah, kan? ia harus selalu ingat Jamie, kan?
Pengendalian diri yang ia bangun mati – matian, luruh begitu saja seperti pasir terkena ombak pantai, saat Tian menatapnya. "aku jadi mikir, selama aku tinggal apa kamu merasa sepi kayak gini? Padahal kita baru bersama 1 bulan, tinggal ditempat yang sama serta berbagi ranjang tanpa ada interaksi, tapi kenapa efeknya seperti ini? Aku gak suka."
Nisa sejak dulu menjadi obsesi tak terbatas baginya yang selalu penasaran akan isi kepala semua orang. Apapun keputusan yang diambil, tingkah lakunya, arti senyum saat menatapnya selalu menimbulkan jejak tanda tanya sebesar telapak gajah. Termasuk saat ini. "Aku juga gak suka saat kamu bilangmau pergi beberapa hari, tapi gak bisa larang karna aku tak ingin pernikahan ini menjadi penjara seumur hidup kamu.
Ia menarik Nisa mendekat, membiarkan istrinya duduk di pangkuan paha kirinya alih – alih menjauh seperti biasa. "mungkin, kita saling terbiasa menyadari keberadaan masing – masing, jadi ketika salah satu menghilang, yang lain akan mencari, kayak kamu. Itu wajar kok, sayang."
"Kamu gak suka dipanggil sayang?"
Begini rasanya saat ia mencurahkan seluruh perhatiannya pada seorang wanita. Karna ia menjadi sepeka tanaman putri malu. "Cuma kurang terbiasa."
Ia memeluk Nisa dan mencium aroma strawberry yang menguar menggoda syaraf penciumannya, menyembunyikan senyum geli dibalik helai rambu sehitam jelaga. "Biasakan kalau begitu, Nisa."
::::