Tian(4)

2.1K 148 2
                                    


Ternyata asik juga bikin pendek gini. Hoho...

Semudah itukah? waw. Tatapan Tian tak lepas dari calon istrinya yang kini asyik bercanda dengan salah satu bartender. Tidak menggoda, Cuma bikin jengkel saja.

Ia merangkul pinggang Nisa, merasakan kelembutan dibalik lengannya. "Jangan banyak minum." Sambil mengambil gelas dalam genggaman wanita itu lalu menaruh cukup jauh. "Nisa.."

"Ya?"

"Kenapa?"

Wanita itu menatapnya dengan sorot lugu, lalu tersenyum. "Karna gue percaya ama lo, bosan ditanya kapan nikah, dan masa depan gue terjamin kalau jadi istri lo, simpel, kan?"

"..."

"Gue penasaran," Tian memiringkan kepala sambil mengelus pelan rambut tergerai Nisa, "sampai kapan kita menikah?"

"Kalau punya alasan logis ntuk berpisah, kita bisa ngurus surat perceraian."

"Ada anak?"

"Yap."

"Berarti ada seks, dong." Ucapnya pelan sambil menggoyangkan gelas berisi es batu. "Oke."

Tian tak habis pikir. Nisa di dalam khayalannya akan menampar wajahnya bolak – balik lalu mengadu ke mamanya dengan kasus pelecehan, bukan seperti ini. "Kamu gak keberatan?"

"Gak ada alasannya ntuk merasa seperti itu, kak Tian." bartender menyerahkan gelas berisi pesanan Nisa, lalu menyenggol pelan gelasnya yang berisi air putih. "cheers ntuk kita yang akan jadi suami istri setelah pulang dari Jogja nanti."

Ia menyukai rasa bibir bawah Nisa yang kini berada di tengah bibirnya. Tidak ada yang senikmat dan pas seperti ini. "Selamat datang, Nona Pradipta."

***

"Kamu mau nikah sama aku, Nisa?" Ia mengangguk sambil memeluk prianya erat. Air mata menetes membasahi pundak Jamie. Hatinya meledak dalam kebahagiaan yang tak terlukiskan. "Kamu tau jawabannya, sayang."

Jamie berdiri dari posisi berlututnya, menatap kemilau gelang dengan bandul kelinci menggantung indah di pergelangan tangan kanan Nisa. "Aku sayang kamu."

"Seluruh hatiku ntuk kamu, Jamie."

"Nisa..." ia menutup mata akan elusan tangan lembut di pipinya. "Andaikan kita gak bersatu pada akhirnya, apa yang akan kamu lakukan?"

Ia benci perasaan sakit seperti ini. "aku akan menerima lamaran pria manapun yang memenuhi syarat tanpa banyak pikir."

"..."

"Aku sudah berubah menjadi zombie bila hal itu benar – benar terjadi. Tak merasakan apapun selain hampa dan lapar tanpa batas."

"..."

"Kalau nanti kita bertemu suatu saat nanti dengan statusku menjadi istri orang," Ia paling suka saat menangkupkan tangannya di kedua pipi Jamie, lalu menekannya secara bersamaan. "Percayalah, hatiku tetap sama kamu sampai kapanpun, Jamie."

***

"bagaimana?"

Nisa memandang cincin putih dengan berlian berbentuk oval yang kini berkilau di jemari manisnya dengan tatapan terpukau. Lamaran tak romantis di pub tak disangka berakhir di salah satu toko perhiasan di Mall Yogyakarta jam 10 malam.

Ia letakkan kembali cincin itu perlahan di atas meja, "terlalu mahal ntuk pernikahan bisnis kita, kak."

Tian tersenyum mendengar bisikan pelan Nisa. "Pilih saja yang mana kamu suka." Boleh kan dia berharap lebih dalam hal ini?

Ia memperhatikan ekspresi serius Nisa saat kembali bertanya kepada pramuniaga tentang model cincin sambil bertopang dagu. Sepanjang perjalanan menuju kesini, tak banyak kata yang terucap dari bibir tipis kemerahan itu, seolah semua ini seperti biasa saja, tak ada yang istimewa. Berbeda dengan dirinya yang deg – degan setengah mati serta seribu rencana cadangan saat mengungkapkan ide gila tersebut.

"Gini bagus, gak?"

Pilihan Nisa jatuh pada cincin berwarna emas dengan model simpul tali, disertai berlian berbentuk oval cukup besar dengan kilau biru yang menarik, terlihat sangat cantik di antara jemari kanan Nisa, seolah tercipta khusus ntuk wanita itu. "Bagus kok."

"Jadi..." kalimatnya menggantung diudara setelah mereka keluar dari toko, tanpa sadar bergandengan tangan. "Setelah ini bagaimana, kak?"

"Pulang dari Jogja, aku ke rumah kamu ntuk melamar kamu secara resmi bersama orang tuaku, nanti aku ajak kamu ke tempat keluarga dari Bandung hingga pelosok sekalipun, gimana?"

"Boleh. "

Senyum yang terkembang, perlahan menghilang ketika sekilas melihat sorot mata sedih Nisa yang menyayat hati saat wanita itu mendesah. "Nisa?"

Ia bersumpah, wanita itu menahan sesuatu dibalik senyum serta bibir bergetarnya. "I'm fine, Tian."


Marriage Not DATING!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang