"Bagaimana aku bisa melupakanmu, kalau hadirmu selama ini adalah hadiah ulang tahun paling indah yang diberi Tuhan untukku?" Nisa.21+!
"Jadi Edric beneran nyusul?" Nisa mengambil pakaian Tian yang berceceran di lantai. Setelah acara selesai, mereka mendapatkan voucher menginap selama 1 hari di salah satu hotel terkenal dari klien Tian. sebagai istri dari pecinta gratisan, tentu saja hal ini tak dilewatkan oleh pria itu.
"Yap." Tian menatap Nisa yang kini melipat pakaian kotornya, lalu meletakkan di dalam plastic besar. "Aku berharap Frans loh duluan."
"Tunggu kita punya cucu kalau gitu sayang." Semburat merah langsung muncul seperti percikan kembang api di wajah Nisa, membuatnya tersenyum geli. "Sini, sayang..."
Nisa berdiri dan berjalan mendekati Tian kini bersandar dekat cermin, yang mengenakan kaos tanpa lengan berwarna hitam kelam, menampilkan tato di pergelangan tangan kiri pria itu, yang baru saja dilihatnya karena selama ini selalu mengenakan lengan panjang, serta di atas dada kirinya yang bertulisan nama lengkap pria itu. "Bertato?"
"Yap. Kamu gak suka?" Only God Judge Me. Ia mengelus tato di pergelangan tangan pria itu. "Pantesan kamu gak mau ada ritual siraman kemaren yah." Ia ingat Tian menolak mentah – mentah ritual tersebut dengan alasan yang cukup logis, namun tetap saja membuatnya bingung bagaimana menjelaskan maksud Tian kepada keluarga besarnya yang masih memegang teguh adat Jawa.
Tian terkekeh sambil memainkan kalung Nisa yang berbandul cincin berwarna putih serta pocket charm berbentuk hati. Menyadari bahwa hal itu membuat Nisa menegang. "Aku gak mau keluarga besar kamu jantungan liat anaknya nikah ama pria bertato."
Ia mundur selangkah, namun Tian merangkul belakang pinggangnya dengan tatapan teduh, seolah ia adalah anak kecil yang baru saja ketahuan berbuat nakal. "Akhirnya kita resmi juga jadi suami – istri." Jantungnya berdetak cepat saat pria itu mengecup keningnya, tangan kiri pria itu mengelus punggungnya perlahan, memancing sesuatu yang ingin ia tolak.
"Tian, aku cap..." kepalanya ditengadahkan keatas ntuk menyambut ciuman Tian yang tiba – tiba, membuatnya tersentak saat menyadari lidah pria itu kini masuk dan mulai memainkan lidahnya, diikuti tangan kanan pria itu kini merayap ke belakang tengkuknya dan mengelusnya perlahan, membangkitkan hasrat yang ingin ia tolak. "Nisa, kamu cantik sekali. Istriku." Racaunya sambil melepas ikatan rambutnya. Membiarkan tergerai dan menyentuh lengan kanan pria itu yang memeluk pinggangnya. "aku lebih suka kamu begini, dengan rambut terurai, bibir bengkak serta pipi merona," pria itu menggigit gemas bibir bawah hingga ia sedikit terlonjak. "Dan siap aku miliki seutuhnya malam ini."
Tidak, tidak...
Ia berjuang menjauh, namun malah berakhir dalam gendongan kuat pria itu dan setengah dibanting ke ranjang berukuran King, menarik napas saat tangan kanan pria itu kini menyentuh belakang lutut kaki kirinya, perlahan semakin naik ke atas dan berakhir sembunyi di bawah dress tidur barunya yang berwarna merah. "Tian, aku belum bi - ah..."
pria itu menyentuh tengah celana dalamnya dengan jari telunjuk, lalu membuat lingkaran kecil hingga ia menggeliat, belum lagi lehernya dikecup serta digigit oleh Tian hingga ia mendongkak tanpa sadar, memberikan akses yang membuat pria itu menggeram kesenangan. "Annisa Puteri Pradipta," bisik pria itu di ceruk lehernya, menghisap bandul kalung yang sekalipun tak lepas dari leher jenjang istrinya itu, menimbulkan perasaan kesal tanpa sebab. "Kamu mau aku lepasin kalungnya?"
"Jangan!" Nisa langsung menjauh dan memegang bandulnya seolah itu jimat, dan menatapnya penuh ketakutan. "Maaf, maksudnya, aku.. aku..." Tian langsung memegang tubuh Nisa yang hendak limbung, dan mencium puncak kepala sembari mengelus lengan kirinya. "Gak papa. Aku ngerti."
Nisa mengangguk dalam pelukannya, "Aku Cuma tidur 2 jam doang kemaren. "
Tian merasa sedikit bersalah karna tidur sangat cukup. "Yaudah, yuk kita tidur bareng." Melihat wanita itu mendongkak dengan tatapan menyelidik, ia tersenyum. "Hanya tidur, Nisa. Ntuk hari ini."
Nisa menggigit bibir dengan genggaman di bandulnya semakin erat, menutup mata sembari menggeleng. "Aku belum siap, Tian."
Ia memeluk tubuh wanita yang kini sekaku patung. "Kita punya waktu seumur hidup ntuk melakukannya, Nisa. Aku akan menunggu itu."
×××
You said move on, where do I go?
I guess second best, is all I will know."Aku cinta sama kamu, Annisa Puteri Dirgantara." Ucapan disertai kecupan di bulir – bulir airmatanya yang menetes, membuatnya tersenyum dan menyentuh pipi pria itu. "Aku juga, Jamie Adhiswara."
Pria itu semakin menggerakkan diri diatasnya, membuatnya mengerang. "Sakitkah?" ia menggeleng. Nyeri pada bawah perutnya ini takkan sanggup menghilangkan euphoria dalam hati.
Yah... ia memberikan keperawannya kepada Jamie, di tahun ke 4 mereka berpacaran.
Menyesal? Tidak. Karna ia mencintai pria itu sepenuh hati.
Maka inilah yang bisa ia berikan.
"Pelan – pelan saja, sayang." Ia semakin mengernyit ketika gerakan pria itu terlalu cepat ntuknya yang belum terbiasa. Mungkin pria itu lupa dengan siapa sedang melakukan hubungan seks. "Aku masih gadis loh beberapa jam yang lalu."
Pria itu tertawa dan mencium bibirnya, lalu melepasnya dengan senyum lebar. "Aku tau kok. Tapi itu tak merubah pandanganku, Nisa."
Ia merangkul pinggang pria itu dengan kedua kakinya, menggerakkan pinggulnya perlahan ntuk menerima semua perlakuan pria itu, dan berbisik. "Aku milikmu, Jamie. Selamanya begitu."
×××
He kissed my lips, I taste your mouth.
He pulled me in, I was disguited with myself."Maafin aku Jamie." Nisa menutup mulutnya untuk menahan isak yang membuat sesak dada. Setelah Tian tidur lelap di belakang punggungnya, perlahan ia berjinjit masuk kedalam kamar mandi, mengunci dari dalam lalu menyalakan shower, menumpahkan sabun ke seluruh tubuh dan menggosoknya hingga memerah.
Ingatan bagaimana ia merespon sentuhan pria itu, membuatnya merasa jijik, dan berakhir terisak di lantai tanpa mematikan shower . "Aku gak bisa, gak bisa, gak bisa. Dia bukan kamu, Jamie."
Ia membuka pocket charm berbentuk hati itu, memandang foto Jamie yang tersimpan, hadiah terakhir pria itu sebelum mereka berpisah dengan menyakitkan, sambil melepas kalungnya ntuk mengambil cincin pemberian Jamie, dan mengenakannya diatas cincin nikahnya, "Aku kangen. Where are you?"
Cause when I'm with him, I am thinking of you.
what you would do, if you were the one?
who was spending the night,
Oh, I wish that I,Looking your eyes.