“Tian mana Nis?” Ia mengernyit ketika tante Karen memaksa menutup riselting belakang gaunnya dengan sekuat tenaga, membuat paru - parunya terhimpit. “Aku gendutan kayaknya, tan.”“Ada beberapa kemungkinan, kamu bahagia atau stress, atau…” kerlingan usil yang terpantul dicermin membuatnya tersenyum tipis. “Gak mungkin ntuk yang terakhir itu tante. Percaya deh.”
Ia memilih memperhatikan tiara kecil berhiaskan berlian berukuran cukup besar di tengahnya, dibandingkan bertatapan dengan sorot menyelidik dari cermin. “Berantem yah?”Ia mendesah. Sejujurnya mereka bertengkar ntuk pertama kalinya karna Tian marah besar saat tau ia tetap bekerja, sedangkan hari pernikahan semakin dekat. Bahkan, Tian tak mau mengantar ke bandara saat ia harus berangkat ke Semarang minggu lalu seperti biasa, serta tak menghubunginya selama itu.
Benar – benar mengerikan. “Gak kok tante. Oh iya,” Ia berputar perlahan sambil mengangkat gaunnya untuk menatap sepatu cantik yang ia kenakan. “Suka banget ama ini.” Gaun pernikahannya sangat cantik hingga ia ingin menangis tersedu – sedu disini.
Seharusnya ia mengenakan ini dengan Jamie menunggu dari balik pintu, bukannya berakhir menyedihkan dengan pasangan yang tak diinginkan, diajak ribut pula.
Ia tersenyum saat tante Karen mengarahkan kamera ponsel ke hadapannya dan berputar mengikuti instruksi. “Buat siapa tante?”
“Tian minta kirimin foto kamu via BM.”
Ia berjalan mengambil ponselnya yang terletak diatas meja, tak ada satupun panggilan atau pesan dari pria itu. Benar – benar. “Oh…”
“Nisa?” Karen bingung melihat Nisa kini berjuang ingin melepas gaunnya, seolah tak sudi mengenakannya lebih lama lagi. “sini aku bantuin.”
Ia melakukannya dengan cekatan, dan Nisa tersenyum lega saat terlepas dan bergegas mengenakan pakaiannya kembali. “Ada lagi gak yang harus aku cobain?”
“Belom sih. Ukur badan kamu bentar yah, soalnya agak sesak, kan?”
“Gausah tante. Gampang aja kok ngurusin ini.” Ia tersenyum sambil merapikan riasan wajahnya yang mulai luntur. “Tante?”
Ia tak tau apa yang membuat wanita berparas sangat cantik dengan tatapan sayu menggoda ntuk di umur tak lagi muda itu menghela napas di belakangnya dengan ponsel tergenggam di tangan kanannya. “Tian mau jemput kamu sekitar 1 jam lagi, kamu gak papa nunggu selama itu?”“Aku gak punya pilihan ntuk menolak kan, tante?” Ia tersenyum sambil menjatuhkan diri ke sofa empuk berwarna putih gading. Cuaca di luar cukup panas saat ia kesini dengan taksi. “Selama menunggu, tante punya rokok gak?”
Di luar dugaan, Tante Karen malah tersenyum dan menyediakannya, lalu duduk di samping sambil mengambil sebilah rokok dan menghisapnya. “Kamu kalau mau kopi, ambil sendiri yah.”
“Oke tante.” Ia mengikuti dan menghembuskan asap perlahan. “Tian tau soal ini?”
“Yap, di hari ketiga kami bertemu.”
“Kalau minum?”“bisa, Cuma sekarang mencoba mengurangi karna Tian gak suka.” Untuk hal satu ini mudah saja karna dia melakukannya bila terlalu hectic dengan pekerjaannya. “Baguslah, Tian memang harus tau kebiasaan baik dan buruk kamu, begitu juga sebaliknya. Jadi kalau merasa gak sreg, kalian bisa berpikir ulang untuk mundur teratur. Itu lebih baik daripada tetap lanjut tapi bercerai. Membuat sakit hati bagi siapapun.”
“Kenapa tante bilang begitu?”
“Pengalaman.” Wanita itu tersenyum lebar, “Menikah tidak semudah bilang, ‘yuk kita jadian.’, terus kalian urus ini - itu dan keluar uang banyak ntuk mewujudkannya. Butuh rencana matang serta komitmen seumur hidup untuk menjalankannya. Kalau Cuma dijadiin trend, mending kumpul kebo sekalian.” Ia tertawa melihat ekspresi Nisa yang melongo. “Karna pernikahan itu melibatkan kedua keluarga besar kalian, seluruh rencana kalian berubah total, serta membuat perjanjian sacral diatas kertas dengan Tuhan. Makanya aku bilang sebelum lakuin itu, kalian harus tau baik – buruknya pasangan, biar suatu hari gak bilang gini, ‘yah, ternyata sifatnya begini, padahal waktu pacaran gak begini.’ Jelas?”
“Ucapan tante kayak orang takut nikah aja.”
“Aku menganut konsep ‘daripada nikah, mending tinggal bersama.’ Tapi, Steven mengubah semua pola pikirku selama…” Ia menghitung, “10 tahun, sabar ketika aku menolak lamarannya sebanyak 3x dengan alasan tak masuk akal.”
“Tante, jangan hancurin usaha aku selama ini ntuk yakinin Nisa nikah dong.” Sela diselingi tawa renyah membuat mereka menoleh kearah Tian yang muncul diantara mereka, dan mengecup pipi kiri – kanan tante Karen yang merona. “Katanya 1 jam lagi.”
“Baru bisa kabur. Udah selesai?” Pria itu tak mau menatapnya, dan ia tak peduli sambil menekan rokoknya agar hancur di asbak putih. “Aku pulang dulu tante, makasih atas nasihatnya.”
Karen tersenyum sambil berdiri dan mencium kedua pipinya. “Hati – hati.”
Ia tersenyum sambil berjalan melewati Tian yang diam disamping tante Karen, menganggapnya patung manekin.
×××
“Kapan pulang?“Kemaren pukul 01.00 Pagi.”
“Dianter sapa?”
“Bukan urusan kamu.” Ia memilih memandang luar jendela daripada menatap Tian yang mendesah. “Kita harus ngomong, Nisa.”
“Apa? Kamu minta aku berhenti setelah kita nikah? Gak akan.”
“Aku Cuma minta kamu cuti, Nisa. Susah yah?”
“Aku gak mau repot sendiri mengurus semua ini. Kalau kamu minta sesuatu dari aku, pastiin kamu juga berpatisipasi, Tian .”
“Aku gak bisa karna sedang menangani kasus besar dari klien penting, Nisa.”
“Yaudah, aku juga gak bisa karna sekarang musim weekend jadi gak mudah ambil cuti disaat penerbangan lagi sibuk.”
“Nisa!”
“Apa?” suaranya terdengar bergetar. Saat bersama Jamie dulu, sekesal apapun pria itu padanya, tidak pernah berteriak apalagi sampai memaksa. Pria itu memilih mengikuti permintaannya daripada ribut berkepanjangan, kecuali masalah keyakinan mereka. Sekarang, ia berhadapan dengan Tian yang sama sekali tak dikenalnya. Tak ada bayangan bagaimana cara menghadapi emosi pria tersebut. “Kamu ingin aku cuti, kan? Fine, aku ikutin, tapi kamu harus ikut, Tian. Aku gak mau mengurusi semua ini seorang sendiri, walaupun kita pake EO, tetap saja ada yang harus ditangani kita berdua, aku gak mau capek sendiri.”
Remasan Tian di setir mobil dengan tatapan tajam ke depan membuatnya sedikit menciut. Pria yang dikenal ramah, suka melucu serta menjadi penengah diantara sepupunya yang suka membuat onar, berubah drastis menjadi sosok yang mampu menekan siapapun tanpa ampun, serta cenderung tak mau mengalah.
Ia paling menghindari konfilik dengan manusia bertipe seperti ini. Membuat uban dikepala semakin banyak.
“Oke.”
“serius?”
“Iya.” Ia tersenyum sangat lebar. Gampang saja ternyata membuat Tian menurut. “Oke.”
“Besok urus cuti selama 1 minggu untuk ini, serta setelah pesta pernikahan kita selama 10 hari, Nisa.”
“WHAT?!”
Kini gantian Tian yang tersenyum melihat Nisa melongo, “Diskusi ditutup.”