"Udah tiba, yah?" Tian menelponnya tepat disaat ia menuruni tangga terakhir di Bandara Soetta. Yap, kenapa?"
Suaranya terdengar sedang bersenyum, entah karna apa. "Cuma kangen aja."
"Gombal. Kenapa menelpon?" setelah dari pertemuan mereka yang berujung lamaran tak romantis, mereka pulang dengan pesawat yang sama, dan 3 hari kemudian dia pergi lagi ke Singapura selama 1 minggu. Pria itu tak pernah absen menghubunginya. "Cuma ngasih tau kalau aku udah nyampe."
"Maksudnya?" Ia memperhatikan sekeliling, dan melihat lambaian tangan pria itu tepat diseberang, yang kini berjalan mendekat kearahnya tanpa mematikan telepon."Kamu cantik."
"Dikira gak bakalan jemput." Pipinya merona ketika Tian menarik kepalanya mendekat, dan mencium ubun – ubunnya sembari mengelus pelan. "Awalnya emang gak, untung tamunya pulang lebih awal dari yang diperkirakan jadinya bisa." Tian menarik kopernya, "Yang ini aja kan kamu bawa?"
"Yap." Ia memperhatikan beberapa wanita kini menatap Tian terang – terangan dengan terpesona. Termasuk teman – temannya kini berbisik heboh – demi mendapat perhatian. "Bisa gak sih tampangnya biasa aja?" ia tertawa melihat Tian bukannya sok ganteng – walaupun memang iya, malah membuat mimik muka tak jelas. "Biar kamu gak cemburu liat aku diperhatiin cewek lain."
Ia memutar bola matanya. Terlalu jauh melakukan hal itu hanya karna mereka bertunangan dan pernah berciuman satu kali. "Malam ini jadi kerumah?"
Tian mengangguk. "Bisa ambilin kunci mobil di kantong kiri? Mendadak males lepas nih" genggaman tangan pria itu semakin mengetat, diiringi senyum tipis saat ia menurut, dan menekan alarm. "Gak masalah. Biar aku bilang sama mama dan papah nanti untuk gak jalan. Emang buat apaan sih?"
"Cuma pengen ketemu aja, gak boleh? Gini – gini aku calon suami kamu, loh."
Dia memilih memasang seatbelt, yang langsung dibantu Tian dengan sigap. Aroma seksi yang menguar dari pria itu, membuatnya mengernyitkan hidung. Ia tak suka aroma ini. "Udah?"
Tian tak tau kenapa setiap mereka bertatapan, dia selalu melihat tembok tinggi di kedua mata Nisa serta aura dingin yang menggigit tulang, di dahinya seolah tertulis, 'didekati boleh, tapi jangan berharap lebih. "Nisa..."
Rupanya pemandangan macet lebih menarik daripada berpaling, "Ya?"
Baru kali ini ia bingung harus berkata apa. "Nothin'."
+++
"Tian suka makan apa?"
Ia mengingat – ingat sambil mengaduk salad sayur untuk hidangan nanti malam. Mama bertingkah seakan Tian tamu kehormatan, papah bahkan pulang lebih awal untuk menyambutnya. "Gatau."
"Dia merokok?"
"Gak." Ia ingat saat menawari sebilah rokok pada pria itu dihari ketiga mereka ketemu, ditolak halus hingga ia sedikit malu saat itu. "Kenapa?"
"Bagus aja. Kamu bikin sebanyak itu, yakin dia mau makan? Setau mama, dia anti sayur lo."
"Aku bikin juga bukan ntuk dia, kok." Ia meletakkan mangkuk itu keatas meja, sambil menyiapkan beberapa piring makan. "Kenapa harus repot – repot sih? Dia gak bakalan lama juga, kok. Palingan cuma duduk didepan rumah doang."
"Kita harus muliain tamu, Nisa." Dia benci mendengar suara memuja mamanya itu. Tau begitu dia gak usah cerita apapun. "Jamie dulu kesini gak seheboh gini persiapannya. Dicuekin lagi."
"Nisa!"
"Done." Ia menatap mama tepat disaat pintu bel rumah berbunyi, "Aku bukain pintu dulu."
"...."
"Setidaknya mama harus berlaku adil, walaupun saat itu tak setuju dengan pilihanku." Ucapnya pelan sebelum meninggalkan dapur.
+++
"Gak nyangka yah mereka ketemu tanpa campur tangan kita." Seru tante Lyesha, Mama Tian sambil memakan salad olahannya. Tian sendiri hanya tersenyum sambil melirik Nisa yang tersenyum simpul saat mendengar ucapan mamanya tadi, lalu memilih mengaduk sayurannya sendiri. "Aku juga, mungkin jodoh."
Ingin rasanya ia beranjak dari sini lalu mengurung diri dikamar. Fisiknya sangat lelah, belum lagi hatinya. Ia tak sanggup menatap lama mama Tian tanpa menangis sesudahnya. Karna seharusnya yang duduk disini itu keluarganya Jamie, bukan Tian.
Ia menghela napas, tak sadar diperhatikan Tian sedari tadi. "Kamu kenapa, Nisa?"
Tian menatap cemas di seberangnya, bersisian dengan papah dan Om Bian, papah Tian yang tersenyum. Pria itu terlihat tampan dengan tampang innocent disertai lesung dalam di kedua pipinya. Sorot mata hijau toska itu sangat lembut hingga ia nyaris mengkhayal betapa enaknya berada didaalam pelukan pria itu."Gak papa, kok."
"Di umur seperti sekarang ini, kalian harus mikirin pernikahan lo."
Perutnya terlalu mulas hingga ia berhenti makan. "Kami baru tunangan, ma, masa langsung nikah? Persiapan dulu. Belum lagi karier aku sedang bagus."
"Karier kamu gak hasilin mama cucu, Tian."
"Lyesha.." tegur om Bian dengan senyum lebar. Terlihat menikmati alih – alih melerai, "Jangan ribut disini."
"Nisa, kalau kamu menikah dengan anakku, apa kamu bisa membagi antara karier dengan rumah tangga?"
Cukup mimpi bersatu dengan Jamie yang direnggut paksa. Jangan yang ini. "Bisa, tante."
"Ma," Ia menyentuh pelan lengan mamanya, "Bagaimana kalau aku bicara sama Nisa bentar, gapapa? Nisa?" Ia menatap wanita itu yang kini mengelap mulutnya dengan tisu "Oke." Ia berdiri dan tersenyum. Membiarkan lengannya diapit Tian. "Permisi, tante."
+++
"Kamu yakin dengan ini, Nisa? Ini taruhan paling berbahaya yang pernah kamu buat."
"Kalau gak yakin, aku sudah tampar kamu sampai memar alih – alih mengiyakannya waktui itu." Mereka menikmati semilir angin malam di taman belakang rumahnya, diiringi suara jangkrik serta nyanyian kodok, juga kunang – kunang yang terbang mengitari mereka. "Kayaknya bakal hujan deh, dingin banget harinya."
Ia baru menyadari, Nisa tak pernah menatapnya setiap mengutarakan pendapat. "Tatap aku dan bilang seperti tadi."
Wanita itu mendongkak dan mengucapkannya dengan bibir bergetar. "Puas?"
"Kamu gak bisa mundur lagi, sayang."
"I know."
Tian menariknya dalam pelukan, dan ia bersembunyi dibalik lengan Tian yang mengurungnya. Menahan diri untuk tidak terisak. Tuhan, dia sudah membuat perjanjian dengan setan berwajah malaikat. "aku akan lamar kamu sekarang."
"Maafin aku, Jamie."
n.ne��y��=H