Mari, kita bongkar saja semuanya.
"Jadi..." ia melirik mama serta mama Tian bergantian, Firasatnya berkata akan terjadi badai super besar saat mama menelpon ntuk mengajaknya makan siang kerumah – sekalian bercerita dengan riang kalau orang tua Tian juga ikut serta. "Mama pengen punya cucu."
Ia menahan senyum ketika suaminya tertawa kecil. Sisi sinis dalam diri serasa meluber seperti bongkahan es terkena panas matahari saat pria itu menggenggam tangannya dibawah meja, menenangkan jiwanya yang berbisik gaduh ingin pergi dari tempat ini. ia menoleh, tatapan lembut hijau toska itu membuatnya mengangguk pelan, seolah ia tahu apa yang dipikirkan. "Mama, kami baru menikah 1 bulan lalu, loh. Masih ingin menikmati masa pacaran yang halal. Lagipula aku sama Nisa juga saling sibuk."
"pekerjaan kalian gak hasilin cucu buat mama, Tian. mau sampai kapan menunda momongan? Gak baik loh. Mama udah pengen punya cucu."
"Mama juga, Nisa." Keningnya berkerut melihat tingkah ajaib kesekian mamanya. "Kalian sudah ngelakuin hal 'itu' dengan benar, kan?"
Ia langsung terbatuk – batuk hebat saat sepotong ayam yang ditelannya, langsung menutupi jalur pernapasannya. Ia genggam tangan Tian hingga kebas. Tuhan, ia takut. "Kamu jangan mati, nak sebelum ngasih cucu selusin buat mama."
"Gara – gara kamu sih, Tian, Nisa jadi tersedak, kan? makanya kasih mama cucu." ia menahan diri tak tertawa terbahak – bahak diantara usahanya mencari napas saat mendengar suaminya disalahkan oleh ibunya sendiri. kasian sekali dikau, kak.
Nisa bersyukur karna dibawa menjauh dari ruang makan alih – alih menjadi penonton keributan, dituntun perlahan ntuk duduk di gazebo taman, terpejam saat merasakan Tian menyingkap bajunya ntuk mengelus punggung serta perutnya tanpa halangan. Ini kontak fisik kedua yang menggila ntuk ditanggung. Tian tak tau atau malah tak sadar bahwa hal yang dianggap remeh itu membuat pipinya memanas seperti kursi yang terlalu lama diduduki. "Maaf kalau nanti pukulanku agak kencang. Tahan yah."
Ia meringis saat Tian memukulnya secara bersamaan, tak sakit, namun cukup membuatnya terkejut hingga setengah menunduk, terdengar napas lega saat mendengar benda sialan itu keluar dari tenggorokannya, rupanya ia baru saja menelan tulang.
Ingatkan ia ntuk jangan makan apapun saat pembicaraan memanas.
Ia langsung terduduk lega diatas rerumputan, Tian mengikuti sambil memeluk dan terus mengelus punggungnya. "Enakan?"
"kamu belajar darimana soal ini?"
"Aku dulu ketua PMR waktu SMA, terus lanjut ampe kuliah juga."
Ia mengangguk, melirik Tian yang kini mengelus jemari kirinya dengan senyum saat menatapnya. "Masuk yuk."
"Kak.."
"Kamu jangan pikirin kata mama, Nisa. Kita menikah emang ada maksud tertentu, tapi bukan berarti aku semena – mena menuntut hal yang gak bisa kamu berikan. Aku ingin melakukannya saat kamu siap, Nisa. Menerima aku secara bathin bahwa aku suami kamu, bukan dari kertas doang."
Senyum itu lagi.
Mungkin karna mereka selalu menghabiskan waktu bersama setiap hari, ia jadi tahu bahwa apapun yang terjadi, Tian akan selalu tersenyum, bahkan saat marah sekalipun, membuatnya terkadang susah menerka apa yang dipikirkan Tian. termasuk saat ini. "Kamu aneh."
Tawa Tian tak pernah gagal membuatnya tersenyum. "Kamu maunya aku perkosa tiap malam? Hell no, darl. aku butuh teman hidup, bukan budak seksual."