File : Puteri Duyung #5

4.9K 573 32
                                    

Cahaya matahari mulai bersinar lebih berani, tapi belum cukup untuk menyingkirkan sedikit kabut dan suhu dingin di sekitar pulau karang.

Albert terus mendayung dan mengarahkan kapal karet kami memasuki sebuah goa besar di kaki tebing pulau karang sesuai petunjuk Nick.

Saat masuk ke mulut goa, cahaya mulai meredup, air laut di dalam goa yang masuk ke bawah pulau karang lebih tenang dari pada di luar, bahkan tanpa arus sedikitpun. Nick mengeluarkan beberapa lampu senter yang bisa diikatkan di kepala, seperti yang biasa dipakai para penambang, lalu memakainya satu.

"Pakailah ini." perintah Nick sambil menyodorkan senter-senter yang tersisa kepadaku dan yang lain.

"Ternyata kau sudah menyiapkan segalanya, Nick." kataku sambil memakai senter tadi di kepala lalu menyalakannya. Begitu juga Bimo dan Albert melakukan hal yang sama.

"Sudah ku bilang, kau masih harus banyak belajar dari orang tua jenius seperti aku, Junior."

"Ya... ya..." jawabku sambil menaikan sebelah alis.

"Ini untukmu, Junior." Nick menyodorkan sebuah benda padaku.

Aku mengambilnya, rupanya sebuah buku kusam berukuran kecil, dengan sampul kulit berwarna coklat tua dan memiliki kancing, sebuah buku catatan model kuno. Sekilas seperti dompet, hanya lebih besar sedikit. Hampir aku tertipu mengira Nick memberikan dompetnya yang berisi penuh padaku.

"Bukalah, dan pakai saja kalau kau mau."

Aku melirik pada Nick lalu membuka kancing pada buku tersebut dan melihat isinya. Pada halaman pertama terdapat tulisan,
untuk sahabat sekaligus asistenku Nicholas Anderson,
selamat ulang tahun ke 26, semoga kau tidak ditendang lagi oleh centaur dan dryad.

Sahabatmu, Edward Pranayodha.

Aku kembali melirik ke arah Nick, rupanya dia sedang memperhatikan aku. Sorotan dari cahaya senter kepalaku tepat mengenai wajah tuanya yang dihiasi senyuman.

Aku kembali memperhatikan ke buku, di halaman berikutnya terdapat foto hitam putih yang tertempel, dengan gambar dua orang pria muda.

Yang satu menggunakan setelan jas kuno dengan topi bulat, gaya berpakaian masalalu seperti dalam film-film detektif dari jaman dulu. Wajahnya sangat mirip denganku, kulit putih, hidung sedikit mancung, dan berambut hitam, khas wajah orang blasteran, dengan perawakan sedang, dia ayahku, Edward. Yang membedakan mungkin wajahku yang sedikit oval, yang ku dapat dari ibuku.

Disampingnya seorang pria muda dengan tubuh tinggi dan berbadan lebih besar, berambut pirang dengan sedikit jambang sedang tersenyum konyol, dia Nick waktu muda. Tidak banyak perubahan pada Nick dalam foto dibandingkan dengan sekarang, selain wajahnya yang menua dan warna rambutnya yang mulai memudar, badannya masih terlihat bugar, tapi dia kehilangan bentuk dada dan perutnya yang dulu bidang.

"Benar kataku, kan, Junior. Ayah mu waktu muda benar-benar mirip denganmu sekarang."

"Ya, Aku juga punya foto ayah, hanya anak durhaka yang tidak punya foto ayahnya. Tapi lebih tampan aku daripada ayahku."

"Tapi kenapa kau belum juga menikah? Hahaha."

Aku hanya mendengus dengan kata Nick yang lebih mirip sindiran bukan pertanyaan.
"Terimakasih, Nick, akan aku gunakan ini sebaik mungkin." lalu aku memasukan buku ini ke dalam saku celana ku yang longgar.

"Itu pemberian ayahmu di hari ulangtahun ku. Meski sudah lebih dari seperempat abad, tapi masih awet, karena sampulnya tahan air."

"Ya, dan kau belum pernah menggunakannya, terlihat semua halaman masih kosong."

Detektif MitologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang