File: Makhluk Tanah #3

2.1K 285 41
                                    

"Erlkonig? Raja peri?" Bimo dan Kinanti bicara hampir bersamaan, bahkan ekspresi mereka pun tidak jauh beda.

"Kau tahu darimana, Yod?"

"Ada sebuah puisi populer pada jaman dulu saat kita masih dalam pemerintahan Hindia Belanda. Seorang penyair Jerman bernama Johann Wolfgang von Goethe yang mengarangnya dengan judul Erlkonig yang artinya Raja Peri." kataku.

"Seperti apa isinya?" tanya Bimo.

"Itu mengisahkan tentang seorang anak kecil dan ayahnya yang pulang dengan mengendarai kuda setelah mereka pergi ke desa sebelah dan melewati sebuah hutan dalam perjalanan mereka. Saat melewati hutan, si anak yang membonceng berkata pada ayahnya bahwa ia melihat makhluk seram yang mengikuti mereka."

"Lalu, Yod?"

"Ayahnya menoleh ke belakang dan tidak melihat apapun jadi ia menyangka anaknya tengah berbohong atau berhalusinasi karena takut. Si anak kembali berkata bahwa makhluk itu masih mengikuti mereka dan kali ini dia berkata bahwa itu adalah raja peri.

Meski berkali-kali anaknya berkata sepanjang perjalanan bahwa raja peri itu mengikuti mereka sang ayah tetap tidak percaya dan akhirnya menyuruh anaknya untuk diam atau dia akan marah. Si anak pun diam dan itu membuat ayahnya tenang.

Selama perjalanan anaknya terus diam tanpa merengek-rengek lagi dan akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Saat itulah ayahnya menyadari bahwa anaknya sudah tidak bernyawa lagi dengan tubuh kaku masih mendekap pinggang ayahnya."

Bimo kembali melotot dan menganga, "puisi yang seram!"

"Begitulah."

"Jadi benar-benar peri yang akan kita hadapi?" kali ini Kinanti yang bertanya dengan nada biasa tanpa ketakutan.

"Entahlah, tapi aku punya firasat yang tidak enak." jawabku. "Mungkin aku akan dimarahi lagi oleh Paman Surya seperti dulu karena bersamamu dengan hal seperti ini."

"Kau bicara apa - sih, Luk. Kita bukan anak kecil lagi." kata Kinanti menanggapi kata-kataku.
Tentu saja bukan itu yang aku khawatirkan, sesuatu yang tidak mengenakkan terbesit di dalam benakku.

Kinanti mendengus lalu kembali memandang pada relief di tembok, jari-jari tangannya menyapu setiap lekuk yang membentuk lambang yang sepertinya tidak asing lagi. Dia menyentuh bagian pedang yang terbalik pada relief dan ternyata benda itu bisa bergeser. Kinanti lalu memutarnya searah jarum jam hingga ujung pedang tegak ke atas.

Krak! Bruk!

Suara yang keras dan kasar terdengar di belakang kami, seperti suara papan kayu yang jatuh. Sebuah lubang persegi berukuran kira-kira satu meter persegi menganga di belakang kami.

"Itu jalan masuknya?" kata Bimo yang lalu menghampiri lubang.

Aku melirik pada Kinanti yang juga menatap lubang. Seperti merasa diperhatikan, dia lalu melihatku.

"Aku tidak sengaja tadi. Aku meraba bagian yang berbentuk pedang dan merasa bisa memutarnya." kata Kinanti menanggapi tatapanku seolah mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Dia lalu menyusul Bimo yang sepertinya sedang berusaha turun ke dalam lubang.

Bimo sudah berada di bawah saat aku menghampiri dan entah darimana dia mendapatkan sebuah lampu badai - lampu minyak yang ditutup dengan kaca berbentuk silinder dengan pegangan besi diatasnya - yang kini berada di tangannya. Lubang itu kira-kira sedalam dua meter, lebih tinggi sedikit dari kepala manusia biasa. Aku bisa melihat dasarnya karena cahaya di sini cukup terang, terdapat tangga besi untuk turun ke bawah yang menempel pada dinding lubang.

"Ada yang bawa korek api?" tanyanya sambil mendongak ke atas.

Kinanti merogoh bagian kecil dari ranselnya dan melemparkan sebuah pemantik berwarna perak pada Bimo.

Detektif MitologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang