File : Makhluk Tanah #15

1.8K 271 46
                                    

Lagash, pria berwajah ke-arab-an ini terus melangkahkan kaki memimpin jalan kami. Dia seolah tak ingin menjawab kebingungan kami yang harus kembali ke jalan kematian ini.

"Kita tidak salah jalan, kan?" tanya Bimo.

"Sudah, ikuti dia saja, Bimo," jawab Kinanti. "tadi tidak ada pilihan lain selain melewati lorong itu."

"Ya, memang begitu. Mungkin kita perlu bergandengan tangan lagi, Kinanti," kata Bimo.

"Tidak usah!" jawab Kinanti dengan cepat.

"Oh, oke."

Kami mengikuti Lagash dengan terus memperhatikannya agar tidak tersesat. Rupanya jalan ini memang tidak hanya satu jalan, kami berjalan berkelok-kelok melalui kolam-kolam dan pepohonan, dan tidak berselang beberapa lama, kami tiba di sebuah tempat terbuka dan terdapat sebuah bangunan yang besar.

Bangunan itu terbuat dari batu-batu hitam yang sebagian tertutup oleh lumut kelabu. Jangan bayangkan jika seperti candi, itu seperti sebuah piramid Suku Maya kuno dengan puncak datar tetapi tidak ada tangga untuk menuju ke atas. Di bagian puncak bangunan terdapat sebuah benda bening besar berbentuk kubus yang bercahaya memantulkan sinar bulan biru dengan sangat terang. Di depan ada sebuah pintu besar seperti gerbang yang bentuknya menyeramkan, membentuk sebuah wajah manusia tua dengan mata terpejam, berjenggot dan berkumis lebat yang bergelombang bagai ombak dengan mulut menganga, mulut itulah pintu untuk masuk ke dalam bangunan itu. Dan wajah yang terpahat sebagai gerbang itu, tidak salah lagi adalah wajah Erlkonig, sang raja peri.

"Kita sudah sampai," kata Lagash. "dan lihatlah, itu siapa."

Rupanya Redcap dan Ibe sudah berada di sana, berdiri di depan mulut wajah Erlkonig dengan wajah masam. Dia berkali-kali mengumpat dengan marah dan memukul-mukulkan tongkatnya ke wajah batu raja peri. Sebuah gelombang seperti tembok air berwarna-warni muncul di lubang pintu dan mementalkan tubuh Redcap setiap dia berusaha masuk.

"Sialan kau, Erlkonig! Sudah mati-pun masih menghalangiku!" teriak Redcap.

"Kau tak akan bisa memasukinya, Oolky," kata Lagash sambil berjalan mendekati Si Tudung Merah.

Redcap berpaling pada Lagash dan menatapnya dengan wajah kesal hingga matanya tidak terlihat karena memicingkannya dengan tajam. Kukira, mereka mungkin akan bertempur adu kecepatan senjata, karena sudah kulihat sendiri bagaimana cepatnya mereka berdua menggunakan senjatanya masing-masing, tapi rupanya Redcap hanya diam saja melihat Lagash. Bahkan pria itu kini mengulurkan tangannya dan entah kenapa, Redcap menyerahkan benda perak dan buku catatanku padanya, yang sebelumnya dengan susah ia rebut dariku. Aku semakin heran dengan siapa Lagash ini.

Lagash menoleh pada kami bertiga dan memberi isyarat agar kami datang padanya. Setelah menghampirinya, dia memberikan benda perak itu padaku. Aku mengalihkan pandangan pada Redcap, dia diam tanpa kata sambil menatapku dengan tatapan yang sama untuk Lagash tadi.

"Hanya kau yang bisa masuk kesana, Yodha," kata Lagash.

"Bukankah malah lebih bagus jika prisma itu tidak usah diambil? Lihat! Bahkan Redcap ini tidak bisa mengambilnya," kataku pada Lagash sambil menatap Oolky.

"Mungkin dia tidak bisa, tapi bagaimana jika orang-orang Novus yang kesini?"

"Orang-orang Novus?"

"Kelompok yang ingin membebaskan Echidna. Mereka bisa mengambil setiap segel jika tahu tempatnya, di antara mereka pasti ada keturunan Themeus yang membelot pada mereka."

"Bukankah Redcap ini komplotan dari mereka?" kataku sambil kembali menatap Oolky. "Dan kau, Lagash. Kau juga bukan orang Themeus tapi kau tahu banyak."

"Yodha, aku memang bukan dari kelompok kalian, tapi aku bukan juga salah satu dari orang-orang Novus itu. Tapi aku pernah bertemu ayahmu, dan aku yakin jika sekarang dia disini, maka dia akan mengamankan benda itu."

Detektif MitologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang