Eternal White

1K 155 26
                                    

Ada satu lagi alasan kenapa aku begitu semangat dalam penjelajahan kali ini, tidak lain karena aku sudah lama ingin berkemah –meski kali ini harus dilakukan di pegunungan salju yang sangat dingin. Seperti pagi tadi, dengan antusias aku membantu Paman Liu mengemasi barang-barang yang dibutuhkan untuk perjalanan kami, bahkan aku sendiri yang berangkat menuju mini market untuk membeli bahan makanan yang kami butuhkan selama perjalanan. Dan tentu saja, aku berbelanja dengan membawa catatan dari Paman Liu yang berisi segala macam makanan dan barang karena dia yang lebih tahu, meskipun aku menambahkan barang yang tidak ada dalam catatan. Jika kalian mempunyai hobi naik gunung, sedikit banyak pasti sudah mengetahui apa yang harus kubeli. Makanan ringan, air mineral, sayuran segar, telur, daging, makanan yang mudah dimasak seperti mie instan dan lainnya. Dan tebak! Ternyata mie instan yang ada di Tibet adalah produk dari Indonesia, tapi aku tidak bisa membayangkan seperti apa iklannya di televisi negara ini.

Kini kami sudah berjalan mendaki selama hampir empat jam termasuk beberapa kali beristirahat sebentar sekedar melepas lelah. Suhu minus sekian derajat celcius, membuat otakku seperti membeku saat menghirup udara. Kami semua memakai jaket parasut tebal yang berlapis bulu sintesis hingga ke tudung kepala dan di dalamnya masih menggunakan baju berbahan woll, tapi aku masih merasakan dingin hingga rasanya bulu mataku menjadi kaku dan bisa patah jika kujentik dengan jari.

"Sebentar lagi kita mendirikan kemah." Kata Paman Liu yang berjalan paling depan.

Kami mengikuti arah yang ditunjukkan Paman Liu, jauh dari jalur pendakian yang dibuka oleh umum, tentu saja karena kami bukan berniat untuk mendaki puncak Everest dan memecahkan rekor.

"Kenapa tidak sekarang saja?" kata Bimo.

Paman Liu tidak menggubris kata-kata Bimo dan tetap berjalan.

"Kenapa? Sudah capek kau, Bemo?" kata Nick sambil senyum mengejek, "masa kalah sama orang tua."

Bimo menjawab dengan menggigil dan menunjuk ke perutnya, sepertinya dia mulai lapar. Tidak ada yang menanggapi isyarat Bimo, yang ia dapatkan hanya tawa ejekan dari Nick. Sebenarnya aku juga lelah dan ingin beristirahat, tapi mungkin Paman Liu punya alasan lain dan kami pun kembali berjalan. Paman Liu dan Nick berjalan di depan, dengan hanya membawa tongkat untuk membantu berjalan di salju –seperti tongkat untuk bermain ski.

Aku memandang sekeliling, hampir semuanya putih dan abu-abu. Bebatuan gunung dan salju, bagai kesuraman yang tertutup dengan keindahan sederhana yang abadi. Di depanku, puncak-puncak atap dunia terpampang. Jurang-jurang dan lembah-lembah pun siap menanti kami. Karena bukan jalur pendakian, jarang sekali kami menemukan tempat yang agak landai. Sedari tadi yang kami lalui adalah jalur menanjak dan kadang turun ke lembah dangkal dengan kemiringan berbeda, kami juga melewati beberapa bukit batu tertutup salju. Bahkan sekarang, saat menoleh ke belakang pun yang kulihat hanyalah bukit dan gunung bersalju.

"Yodha. Kau sudah mendapatkan informasi tentang ayahmu dari Paman Liu?" tanya Bimo dengan pelan padaku. Kami berdua berjalan paling belakang dengan masing-masing membawa ransel berat yang isinya mungkin melebihi isi kulkas.

"Sedikit," jawabku.

Malam sebelumnya memang aku banyak bertanya kepada Paman Liu tentang ayahku, dan memang itu tujuanku saat pertama datang. Sambil bermain catur Cina, aku 'menginterogasi' Paman Liu yang menjawab dengan ogah-ogahan dan membuatku kesal. Yang aku dapatkan hanyalah cerita masa lampaunya dengan ayahku dan dia berkata belum pernah bertemu dengan koleganya itu sejak ayahku menikah. Tentu saja aku tidak percaya begitu saja, apalagi dia selalu mengalihkan perhatian saat aku bertanya tentang kelompok-kelompok rahasia.

Paman Liu membawa kami melewati celah sempit di antara dua buah bukit batu lalu tiba di sebuah lembah kecil –mungkin lebih tepat disebut cerukan—yang dikelilingi batu-batu besar dan tersembunyi, mungkin luasnya hanya dua kali luas halaman di rumah kakek.

Detektif MitologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang