File : Makhluk Tanah #6

2K 310 30
                                    

"Bagaimana—?" Bimo terheran-heran dengan apa yang terjadi. Tidak hanya dia, sebenarnya aku pun heran. Tapi aku sudah menduga hal ini pasti akan terjadi, makanya tadi aku memberi tanda di salah satu pintu labirin tanpa sepengetahuan Bimo dan Kinanti.

"Kau tahu darimana, Luk?" tanya Kinanti sambil mendekatiku.

"Lihat! Aku diam-diam menempelkan plester luka yang kuambil dari tasmu ke dinding di pintu masuk ini," kataku seraya menunjuk ke benda yang menempel di dinding suram itu. Memang tidak terlihat jelas dari jauh karena begitu kecil, tapi aku hanya berfirasat saja tadi untuk menghampirinya.

"Kalau begitu kita ambil jalan yang lain dan memberi tanda di setiap pintu atau cabang yang kita lewati," kata Bimo.

"Benar," kataku.

Kami meneruskan perjalanan dengan melewati pintu yang lain setelah sebelumnya memberi tanda dengan menempelkan plester luka di setiap pintu atau tikungan yang kami lewati.

Labirin ini cukup membingungkan, lebih membingungkan daripada jalan pikiran wanita — kurasa. Aku sendiri pernah sekali bermain di wahana labirin di taman bermain, tapi yang namanya permainan ya cukup mudah untuk menemukan jalan keluar. Namun kali ini benar-benar labirin yang sesungguhnya dan luar biasa, berada puluhan meter di bawah tanah dan terbangun rapi dengan ukuran besar. Manusia-kah yang membangunnya? Sebelumnya pulau karang yang ku temui pun cukup membuatku kagum, manusia memang hebat.

Beberapa kali kami bertemu kembali dengan jalan yang barusan kami lewati hingga hampir membuat kami putus asa dan kehabisan plester luka.

"Dari tadi kita hanya berputar-putar terus, Yod," kata Bimo yang menampakkan wajah lemas.

"Kinan, kau pakai saja sisa plester ini untuk mengobati luka di tanganmu. Kita akan mencari cara lain," kataku.

"Tidak usah, Luk. Hanya luka kecil dan sekarang sudah kering karena sudah daritadi."

Aku menarik lengan Kinanti dan menempelkan plester luka di lukanya — bekas cakaran peri gigi tadi— dengan paksa.

"Kau bawa plester luka tapi tidak kau pakai sama halnya kau bawa senter tadi," kataku.

"Jangan menyindir!" kata Kinanti sambil menarik lengannya dariku.

"Tidak adakah suatu petunjuk atau peta di sini?" kata Bimo yang lalu berjongkok dan menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Memangnya ada orang bodoh yang membuat labirin namun menaruh peta di dindingnya?" jawab Kinanti yang mengusap-usap bekas lukanya.

"Hei, kalian kesini!" perintahku sambil melambaikan tangan pada kedua temanku.

"Ada apa, Yod?"

"Sudah, kesini saja!"

Mereka berdua lalu menghampiriku dengan wajah penasaran.

"Kau menemukan petunjuk, Luk?"

"Kurasa..."

Aku lalu melepas sebelah sepatu dan kaus kakiku, lalu meletakkkan kaus kaki di lorong dan menyuruh mereka berdua yang kebingungan dengan apa yang aku lakukan untuk bersembunyi di salah satu sudut pintu lorong bersamaku.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Kinanti.

"Sst," aku menyuruh mereka diam dengan menaruh telunjuk di bibirku. "Kecilkan lampu badai dan matikan senternya."

Sekitar sepuluh menit kami terdiam, Kinanti sepertinya tidak sabar dan penasaran dengan apa yang aku lakukan. Sedangkan Bimo, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang berusaha mengingat sesuatu atau menerka-nerka.

Detektif MitologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang