"Iya ini gue udah di dalam, lo dimananya?" tanya Dimas pada Jenayar, sepupunya yang sudah dua hari ini menginap di rumah orang tua Dimas karena mengikuti suaminya yang sedang ada seminar di Jakarta, melalui ponsel.
Afifah, putri pertama Jenayar yang berusia empat tahun siang tadi sakit perut dan diare, diare pada balita dikhawatirkan dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Karena sang suami belum pulang dan Jenayar tidak ingin membuat suaminya khawatir dan kalang kabut pulang sehingga mengacaukan seminar penting sang suami, dan lagi pula Paman dan Bibinya, ayah dan Ibu Dimas, sedang tidak di rumah siang tadi, mereka pergi ke undangan akikah cucu salah satu rekan bisnis mereka maka jadilah Jenayar membawa Afifah ke salah satu klinik Ibu Anak sendiri menaiki taxi dan kemudian menghubungi Dimas untuk menjemputnya ketika ia selesai.
"Okay, lantai dua... gue ke sana." Jawabnya kemudian memutus panggilan ketika sudah mendengar jawaban Jenayar. Ketika hendak melangkahkan kaki untuk menaiki undakan tangga, matanya tidak sengaja menatap seorang perempuan yang sangat ia kenali. Perempuan bertubuh tinggi dengan kulit putih pucat, dan rambut hitam panjang.
Perempuan itu sedang duduk di kursi ruang tunggu tampak berbincang dengan wanita hamil di sebelahnya, dan terlebih tampak seorang anak perempuan kecil berdiri di hadapannya dan tengah mengelus perut perempuan itu yang terlihat jelas membuncit.
"Arlena..." ucapnya pada diri sendiri.
.
.
.
.
.
"Ada apa kau datang kemari malam-malam?" Arlena mengucapkan pertanyaannya sambil menatap datar pria di hadapannya. Ia menutupi kebingungan yang bercokol di dalam kepalanya dengan berusaha bersikap tenang dan datar seperti biasanya.
"Aku ingin bicara. Ayo masuk." Ucap pria itu dengan bibir yang menipis. Arlena dapat merasakan perasaan tidak menyenangkan ketika jemari besar sang pria menarik lengannya yang tertutup cardigan hitam. Rasa hangat menjalari tubuhnya, membuatnya mengernyit tidak suka. Pria itu membawa Arlena masuk ke dalam apartemennya, kemudian menutup pintunya.
"Duduk." Ucapnya tegas yang terdengar seperti perintah bagi Arlena membuat perempuan itu merasa kesal.
"Cepat katakan apa yang ingin kau katakan, aku tidak punya banyak waktu untukmu." Arlena menghempaskan pelan tubuhnya di atas sofa, lengannya bersedekap yang tanpa ia sadari membuat perutnya yang membuncit semakin terlihat.
Dimas menarik nafasnya dalam kemudian duduk di hadapan Arlena, ia memperhatikan perut perempuan di hadapannya.
"Kenapa kau tidak mengatakannya?"
Arlena mengernyit tidak mengerti mendengar pertanyaan Dimas yang tidak jelas arahnya.
"Kenapa kau diam saja?"
"Apa?" Arlena bertanya bingung, pertanyaan pria ini semakin melantur.
"Sampai kapan kau akan merahasiakannya dariku?" pria itu mencondongkan tubuhnya, matanya menatap tajam Arlena yang mulai menyusun kata-kata pria itu di dalam kepalanya.
"Apa kau memang tidak akan mengatakannya padaku?!"
"Bagaimana kau bisa tahu?" Arlena berbisik lirih, pemahaman muncul di kepalanya. Dimas mengetahuinya! lengannya tanpa sadar memeluk perutnya, membuat Dimas mengerutkan dahinya pedih.
"Jawab aku! Apa kau tidak akan mengatakannya?" Dimas melafaskan kata-katanya pelan-pelan, memberikan penekanan, seolah ingin menekan perasaan tidak menentu yang bergelora di rongga dadanya. Tatapan matanya memaku Arlena dengan tatapan menuduh.
Arlena bangkit berdiri, tidak nyaman dengan situasi ini, ia menatap Dimas dengan tatapan menusuk, "Pergi kau dari sini! Aku tidak ingin melihat wajahmu!" Ia berjalan menuju pintu apartemennya berniat untuk membukanya lebar. Perasaan defensive menjalari dirinya, ia tidak akan membiarkan pria ini menuduhnya lantas menyalahkan dirinya. Tidak akan!
Dimas berdiri dan melangkahkan kakinya menuju perempuan yang mengeluarkan aura marah yang kental. Ia pun sama marahnya dengan perempuan itu! Apa-apaan dia? Menyembunyikan hal sepenting ini darinya? Lantas menyuruhnya pergi begitu saja?
"Aku tidak akan pergi sebelum mengetahui semuanya, Arlena." Ucapnya pelan namun penuh intimidasi, jemari besarnya merengkuh kedua bahu Arlena, mengeratnya dalam kungkungan yang menyakitkan perempuan itu, mencegah Arlena membuka pintu.
"Lepaskan aku! Apa yang ingin kau ketahui? Huh? Apa?!" teriak Arlena marah, ia mencoba melepaskan jemari pria itu dari bahunya yang berakhir sia-sia, sedikitpun Dimas tidak beranjak.
"Apa yang kau sembunyikan dariku! Kenapa kau menyembunyikan hal sebesar ini dariku?! Kau hamil dan tidak mengatakan apa pun kepadaku! Kau tahu bagaimana kalutnya aku ketika menyadari ini semua? Kehamilanmu?! Ketidaktahuanku?!" Dimas mengucap frustasi, jemarinya semakin mencengkram erat bahu perempuan keras kepala di hadapannya. Ia geram dengan perempuan ini, perempuan yang beberapa waktu ini selalu menyita isi kepalanya. Segalanya terasa jelas sekarang, perilaku-perilakunya yang di luar kebiasaan, makanan manis yang sekarang ia sukai, keinginannya untuk terus melihat Arlena, tubuh wanita itu yang belakangan membesar. Ada sebuah ikatan yang terjalin di atara mereka berdua, ikatan kuat yang dititipkan oleh Tuhan. Dan wanita ini menyembunyikan itu semua darinya.
"Aku tidak menyembunyikan apa pun karena kau memang tidak memiliki hak dan tidak pantas untuk mengetahuinya." Arlena menatap dingin Dimas tepat di manik mata, wajahnya mengeras menahan amarah yang tiba sampai di ubun-ubun, rasa tidak nyaman dibahunya berubah menjadi rasa kebas.
Dimas mengernyitkan dahinya pedih, ia menatap tak percaya pada Arlena dan tak mampu mengatakan apa pun.
"Apa yang kau harapkan dariku? aku akan mendatangimu dan memohon padamu untuk tidak meninggalkanku? Huh? Itu yang kau takutkan? Itu yang kau cemaskan? Itukah yang membuatmu kalut?! Tenang saja Tuan Dimas Arya Adirza, aku tidak akan meminta pertanggung jawabanmu. Aku tidak akan menganggu hubunganmu dengan kekasihmu itu! Maka sekarang pergilah dari sini. Kau tidak perlu merisaukannya."
Dimas melepaskan cengkaraman tangannya dari bahu Arlena, pria itu meremas rambutnya frustasi mendengar pernyataan wanita ini. Dia bahkan tidak memikirkan Shifa dan bisa-bisanya Arlena membawa-bawa Shifa yang tidak tahu apa-apa.
"Dia anakku dan tentu saja aku harus bertanggung jawab. Bagaimana bisa kau menyuruhku untuk pergi begitu saja?!"
Arlena mendengus lalu tertawa miris, ia ingin menangis saat ini, tapi sebaliknya ia hanya menatap Dimas yang terlihat kacau dengan tatapan tak terbaca.
"Kau pernah melakukannya... pergi begitu saja tepat dua hari sebelum pernikahan kita. Kenapa sekarang kau tidak bisa?"
"..."
"Waktu itu aku bertahan, saat ini pun begitu. Kau telah kehilangan hak akan anak ini..." Arlena memeluk perutnya posesif tanpa sadar, "saat kau memutuskan untuk meninggalkanku. Apa kau lupa apa yang aku katakan? Ketika kau melangkah pergi, jangan berharap untuk kembali. Jangan pernah kembali, Dimas." Arlena berucap lirih membuat Dimas tercekat, rasa sakit menjalari dadanya bagaikan ribuan pisau menusuk ulu hatinya. Ia ditolak.
.
.
.
.
.
TBC
Haiiii... apa yang akan terjadi selanjutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Your Heart (ON GOING)
General FictionArlena mulai mempercayai bahwa akan ada cinta dan kebahagian untuknya. Namun itu semua sirna, hilang tak bersisa meninggalkan sakit hati dan rasa malu. "Ketika kau pergi jangan harap untuk kembali". Dia tetap pergi, meninggalkan Arlena yang hanya...