Arlena memakai cardigan besar miliknya yang berwarna hitam, menutupi perutnya yang mulai terlihat membuncit. Dengan asal ia mengikat rambutnya, kemudian mengambil dompet, ponsel dan kunci mobil di atas meja kerjanya. Tadinya ia sedang memeriksa design baru untuk kerja sama perusahaannya dan perusahaan Dimas, namun tiba-tiba ia merasa bosan dan tak ingin menyentuh laptopnya. Dia lapar dan menginginkan makanan yang tidak tersedia di rumahnya. Dia ingin makan bakso dengan paduan isi daging iga yang gurih. Apakah ini yang dinamakan ngidam? Apa pun namanya dia harus bisa menikmati bakso tersebut, air liurnya hampir saja terbit memikirkan bakso itu. Jika wanita hamil pada umumnya bisa meminta pasangan mereka untuk memenuhi keinginan-keinginan mereka, maka tidak bagi Arlena. Ia hanya punya dirinya sendiri di apartemen ini, tanpa keluarga dan tapa suami atau pasangan. Ia harus memenuhi keinginannya dan sang janin sendiri. Dia harus mandiri. Lagi pula Arlena sudah terbiasa, maka ini bukan hal sulit baginya.
Arlena memutuskan untuk pindah ke apartemennya kembali setelah pulang dari Lombok. Apartemen ini dulu ia tempati sebelum perjodohannya dengan Dimas, suasana rumah yang tidak menyenangkan membuatnya lebih suka untuk tinggal sendiri. Ketika perjodohannya terjadi dan mereka sibuk dengan persiapan pernikahan, sang mama memintanya untuk menetap di rumah megah mereka yang terasa sangat dingin bagi Arlena. Saat itu Mamanya bersikap lebih bersahabat, sedikit menyenangkan karena rasa bahagia wanita tersebut mempersiapkan pernikahan putri semata wayangnya dengan pria incaran banyak wanita plus kaya raya dan berasal dari keluarga ningrat terpandang. Papa lebih banyak berbicara dengannya ketika di rumah, membicarakan calon menantu favoritnya atau hal-hal kecil mengenai pernikahan mereka. Merasa senang karena bisnisnya nanti akan semakin besar dan kuat.
Namun semua itu berubah, kabar pembatalan pernikahan tersebut membuat segalanya menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Saat ini suasana rumah itu semakin menyedihkan untuk Arlena, mamanya sering menatap penuh amarah terhadapnya begitu pun sang papa yang semakin dingin serta menganggapnya tak ada. Pria paruh baya itu bahkan tidak ingin membahas pekerjaan di rumah dengannya, padahal dulu ketika dia belum bertunangan dengan Dimas hanya hal itu yang mereka bicarakan bila bertemu. Sakit? Tentu saja, namun sekali lagi Arlena menguatkan dirinya. Bukankah ia sudah terbiasa ditinggalkan dan diabaikan?
Dia memasukkan kakinya ke dalam sandal hello kitty lembut yang dua hari lalu ia beli di pinggir jalan. Ia menyukai hal-hal feminim akhir-akhir ini, sesuatu yang lembut dan lucu. Mungkin saja bayi yang ia kandung adalah bayi perempuan? Terkadang ia tersenyum memikirkan hal itu. Aaaah, tetapi bakso iga lebih menggiurkan saat ini, merapatkan cardigannya, Arlena membuka pintu. Ia mematung melihat lelaki di hadapannya.
.
.
.
.
.
Dimas tersentak ketika pintu itu terbuka, ia baru saja akan menekan tombol bel. Di hadapannya berdiri Arlena yang menatapnya terkejut.
"Mau apa kau?" ketus wanita itu setelah sadar dari keterkejutannya.
Dimas diam tak tahu ingin menjawab apa, dia pun merasa bingung sendiri. Reaksinya sungguh impulsif. Pada saat pulang dari kantor, entah mengapa dia mengambil jalur memutar, ia tak sengaja melihat warung bakso langganannya dan tanpa pikir menghentikan laju mobil dan membeli dua porsi bakso. Dan di sini lah dia. Rasanya gila jika dia mengatakan bahwa dia teringat wanita di hadapannya dan ingin makan bakso bersama.
Arlena memperhatikan pria di hadapannya yang tak kunjung menjawab dan malah terlihat kebingungan. Matanya yang awas menangkap kantong plastik yang dipegang tangan kiri pria itu.
"Apa yang kau bawa?" rasa penasaran menggelitik dirinya.
Pria itu mengangkat kantong plastiknya, "Bakso." Ucapnya.
"Dengan isi daging iga?" tanyanya berharap.
Dimas menganggukkan kepalanya sekali. Tanpa bisa ditahan senyum Arlena terbit, pria di hadapannya tampak terkesima melihat perubahan sikap wanita di hadapannya.
"Ayo." Ajaknya meninggalkan Dimas yang masih berdiri mematung di depan pintu Arlena yang terbuka.
.
.
.
.
.
Dimas memerhatikan Arlena yang tampak lahap menghabiskan kuah di mangkuknya yang sudah hampir kosong itu. Perempuan itu makan dengan semangat sekali. Membuat Dimas tak bisa mengalihkan pandangannya. Entah mengapa Arlena malah terlihat semakin mempesona. Wajahnya bersih dari polesan make up namun ia malah semakin cantik dan berseri. Bagai ada magnet dalam diri wanita itu yang membuatnya lebih memilih untuk memerhatikan wanita itu dari pada makanan di hadapannya. Dan terlebih ada rasa gelisah dalam dirinya, ia takut bila ini adalah kali terakhir ia bisa melihat wanita di hadapannya ini dalam kondisi seperti ini.
"Kau mau lagi?" tanyanya ketika melihat wanita itu menyuapkan kuah terakhirnya. Mangkuknya bersih.
Arlena menaikkan pandangannya, melihat sekilas ke arah pria yang duduk di hadapannya kemudian perhatiannya jatuh ke mangkuk berisi bakso yang masih terlihat banyak. Sepertinya Dimas tidak terlalu suka bakso itu pikirnya.
Tanpa menunggu jawaban darinya Dimas menggeser mangkuk kosong Arlena dan mendorong mangkuknya ke hadapan wanita itu.
"Aku sudah kenyang, makanlah." Ungkap pria itu. Tanpa banyak kata, Arlena menyantap makanannya. Senyuman Dimas muncul ketika melihat wanita itu makan dari mangkuknya dengan semangat.
"Kau terlihat sangat sehat." Suara pelan Dimas membuat Arlena menghentikan kunyahannya.
"Kau ingin aku sakit?" sengit Arlena.
"Bukan itu maksudku..." ucap Dimas cepat, merasa bodoh karena tak sadar mengucapkan apa yang sedang ia pikirkan. "Kau tampak sedikit lebih berisi. Dan... dan itu bagus." Sambungnya. Arlena mendengus mendengarnya kemudian melanjutkan makannya.
"Membuatmu semakin menarik..." lagi, pria itu tak sadar telah mengungkapkan isi hatinya. Namun kali ini Arlena tidak membalas, ia menunduk lebih memilih untuk menikmati baksonya. Dan tanpa disadari oleh pria itu, tangan Arlena yang terhalangi oleh meja mengelus perutnya lembut.
Hey baby, your Daddy is here.
.
.
.
.
.
Arlena menatap langit-langit kamarnya, sebelah tangannya mengelus lembut perutnya yang membuncit.
"Kau senang?" lirihnya kepada sang bayi. "Kau bahagia mendapatkan makanan dari ayahmu ya?" tanyanya lagi, jemarinya tak henti membelai perutnya. Memberi elusan sayang pada calon bayinya.
Arlena sudah lelah mengutuk dirinya sendiri. Apa yang ia lakukan? Membiarkan pria itu masuk ke dalam tempat tinggalnya. Makan makanan darinya, dihadapannya dan dengan tidak tahu malu ia bahkan makan dari mangkuk pria itu. Ia tak habis pikir dengan dirinya. Apakah ini karena hormon wanita hamil? Mungkin saja, tapi itu bukan pembelaan. Tindakannya tadi tidak bisa dibenarkan, seharusnya ia langsung menutup pintu rapat-rapat saat melihat pria itu di depan pintunya. Tapi mau bagaimana pun juga semuanya sudah terjadi, waktu tak bisa diputar kembali. Kalau ia bisa memutar kembali waktu, ia akan kembali pada saat sebelum perjodohannya. Ia akan menolak dari awal sehingga mereka tak perlu bertemu. Sehingga ia takkan merasa sakit. Setetes air mata mengalir, membasahi pipinya.
"Sakit..." isaknya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Your Heart (ON GOING)
פרוזהArlena mulai mempercayai bahwa akan ada cinta dan kebahagian untuknya. Namun itu semua sirna, hilang tak bersisa meninggalkan sakit hati dan rasa malu. "Ketika kau pergi jangan harap untuk kembali". Dia tetap pergi, meninggalkan Arlena yang hanya...