Chapter 21
Arlena memandang kosong derasnya hujan yang mengguyur bumi, lelehan tangisan langit tampak mengalir membasahi kaca jendelanya. Lamunan sendunya menari indah dalam kepala wanita tersebut. Apa yang diharapakan, apa yang menjadi impiannya. Apa yang harus dilakukan, agar penderitaan ini sedikitnya berkurang, kalau bisa menghilang. Mungkin bagi orang di luar sana, kehidupannya adalah kehidupan impian. Dia cantik, berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga terpandang pula. Ia membuat perempuan-perempuan di luar sana meringis iri, mungkin para pria pun juga begitu, lihat saja jabatannya di kantor. Tetapi itu hanya kamuflase, tipu muslihat yang dilakukan olehnya, oleh kedua orang tuanya yang menampilkan keluarga penuh kebahagian di hadapan masyarakat. Tidak ada yang bahagia, mereka hanya menderita dan saling menyakiti dengan kebersamaan tersebut.
Atau, bila ada orang yang mengetahui pun mereka takkan menduga mengapa Arlena hanya diam saja, menerima tikaman rasa sakit yang dihunuskan oleh mereka yang menyumbang darah dalam dirinya. Mereka tidak tahu, walau bagaimana pun Arlena hanya seorang wanita yang mentalnya telah dihajar oleh kedua orang tuanya sejak dini. Perusak kebahagiaan, perusak impian. Belajar segiat mungkin, menunjukkan kemampuan yang luar biasa agar suatu saat kedua orang tuanya tersenyum padanya dan mengatakan, "Itu dia, putri kami." dengan tulus dan penerimaan. Dia menunjukkan ketegaran, tatapan seolah tak tersentuh dan tidak peduli, tetapi sesungguhnya ia menangsi pilu di dalam sana. Apa yang telah dia pelajari mendadak hilang tak berbekas bila sudah berhadapan dengan kedua orang tuannya. Ia tidak mampu melawan, melawan ketakutan terbesar dalam dirinya. Melawan mereka yang membentuknya menjadi sesosok wanita yang seperti ini. Anggap dia bodoh dan pengecut, tapi itulah dia.
Setidaknya, saat ini dia memiliki sesuatu hal yang lebih penting untuk diperjuangkan. Bayinya. Dia tidak mengharapakan kedua orangtuanya lagi, sudah lelah dia mendongak menarik mereka agar menunduk dan melihatnya. Saat ini dia berpaling, berusaha menata masa depan yang lebih baik. Ada benarnya, dia pergi menjauh. Menjauh dari situasi yang pasti tidak baik untuk perkembangan bayinya. Melepaskan apa yang membuat dirinya semakin sakit.
Arlena bangun dari duduknya, mengambil kopernya yang di letakkan di atas lemari, meletakkan koper tersebut di atas tempat tidurnya dengan keadaan terbuka. Perlukah dia membawa semua pakaiannya? Sebaiknya dibawa semua, biar tidak ada alasan untuk kembali. Lagipula untuk siapa dia kembali? Toh tidak ada yang menginginkan dirinya. Arlena mengeluarkan pakaiannya satu persatu melipatnya menjadi bagian yang kecil kemudian memasukkan pakaian-pakaian tersebut ke dalam koper.
.
.
.
.
.
"Kau terlihat begitu murung akhir-akhir ini." Ungkap Arlena, wanita itu memotong-motong cake-nya menjadi ukuran yang lebih kecil agar mudah dimasukkan ke dalam mulut. Entah mengapa selera makannya berubah, yang biasanya ia memakan semuanya kini ia merasa tidak menyukai apa pun kecuali yang manis-manis, dan sesuatu yang creamy.
"Terlihat jelas ya?" tanya Abib, melempar senyum kecil penuh kemirisan.
"Hm." Arlena menganggukkan kepala, "Do you want to share?"
"Nope, belum. Nanti kuceritakan. Aku perlu menata semuanya terlebih dahulu." Abib memerhatikan sekeliling, dekorasi rumah kue ini sangat bagus dan hangat, terlebih sebenarnya cake serta kue-kue kering yang dibuat sangat enak untuk dinikmati, namun karena perasaannya yang awut-awutan semua terasa sama. Pahit.
"Kalau begitu aku saja yang cerita." Arlena memulai.
Abib mengalihkan perhatiannya dari kopi hitam yang ia pandangi, menatap manik Arlena yang terlihat sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Your Heart (ON GOING)
General FictionArlena mulai mempercayai bahwa akan ada cinta dan kebahagian untuknya. Namun itu semua sirna, hilang tak bersisa meninggalkan sakit hati dan rasa malu. "Ketika kau pergi jangan harap untuk kembali". Dia tetap pergi, meninggalkan Arlena yang hanya...