"Kamu pasti kaget ya, Ibu secerewet ini." Kamayu mengerling ke Arlena, sementara dengan cekatan tangan wanita paruh baya tersebut megulek cabai untuk dijadikan sambal terasi. Kesukaan Bapak kata Ibu tadinya. Dan Arlena bersyukur janinnya tidak mengeluh dengan aroma tajam yang menguar dari terasi tersebut. Ah ya, anaknya ini memang sangat pengertian.
Sebelum mulai mempersiapkan masakan hari ini, Ibu sempat bertanya apa yang ingin Arlena makan namun yang ditanya hanya mengikut saja. Seperti hari-hari biasanya, dia tidak meminta banyak. Hari ini mereka memasak makanan kesukaan Bapak. Ati ampela, tempe mendoan, ikan gurame goreng, lalapan sayur dan ya tentu saja sambal terasi.
"Saya suka kok bu." Arlena menjawab tulus, tersenyum dia mengalihkan perhatiannya dari sayuran yang dia cuci bersih untuk menjadi lalapan makan siang nanti, menoleh menatap Ibu yang membulatkan matanya terkejut.
"Cuman Bapak sama Dimas yang tahan dengan kebawelan Ibu, sekarang nambah satu deh. Kamu." Kamayu melanjutkan ulekannya, tertawa senang sementara Arlena melanjutkan pekerjaannya tadi.
Sudah satu bulan lebih Arlena tinggal di kediaman Adirza, sebulan yang jika harus diakui merupakan hal yang sangat menyenangkan dan menentramkan hatinya. Dia cukup terkejut di awal dengan kebawelan Kamayu tetapi merasa senang dengan perhatian tersebut. Keluarga ini hangat, berbeda jauh dengan keluarganya sendiri. Mama dan papanya bahkan tidak pernah menghubungi dirinya sama sekali sejak terakhir mereka bertemu. Mungkin mereka berpikir anak perempuan semata wayangnya yang memalukan ini sudah menghilang ke belahan dunia bagian lain. Sedih? Lebih dari itu. Tetapi dia sangat menghargai kasih sayang tulus yang diserahkan keluarga Adirza kepadanya, mengikis pelan-pelan rasa kecewanya.
"Len, terima kasih ya..."
Arlena menoleh ke arah Ibu yang sudah berdiri di sampingnya, tengah membersihkan jemarinya yang ternoda sambal, sepertinya Ibu sudah selesai dengan sambal terasinya. Arlena diam, memperhatikan Ibu yang tengah menggosok sela-sela jarinya dengan sabun, menunggu Ibu melanjutkan ucapannya. Tapi tampaknya Ibu tidak ingin melanjutkan apa pun.
"Udah selesai kan?" menoleh pada sayuran yang sudah tercuci semua, Ibu lalu memanggil Asih, "Sih, tolong atur meja ya." Yang diiyakan oleh ART muda itu.
"Terima kasih untuk apa Bu? Saya yang terima kasih, Ibu sudah baik sama saya." Arlena berkata setelah Asih tidak ada lagi di dapur bersama mereka.
"Sebelum makan, ngobrol sebentar yuk?" Kamayu kemudian membawa Arlena keluar dari dapur, menuju kursi kayu di taman samping rumah menghadap langsung ke taman bunga milik nyonya Adirza tersebut. Menikmati semilir angin yang berhembus pelan hampir tak terasa.
"Terima kasih karena kamu mau berada di sini." Ucap Kamayu setelah mereka duduk.
Arlena menggigit bibir bawahnya pelan, tidak tahu harus berkata apa. Dengan senyuman yang tidak lepas dari wajahnya, Kamayu menatap sendu pada Arlena, tangannya menggenggam erat jemari si perempuan, "Maafin Dimas ya, Len. Maafkan ketololan anak Ibu itu."
Arlena ingin tertawa mendengar dumelan Kamayu tentang putra tunggalnya tersebut namun pikirannya lebih memilih membawanya pada ingatan tentang Dimas yang selalu pulang ke rumah ini setiap harinya walau jarak yang ditempuh cukup jauh. Pria itu menjadi pria termanis yang pernah ada. Arlena tidak tahu apakah ini disebabkan oleh hormone kehamilannya atau karena anaknya yang senang sekali bisa mendengar suara ayahnya setiap hari, atau malah keduanya? Membuat Arlena tidak dapat lagi mempertahankan ekspresi ketatnya di hadapan pria itu, dia mulai bisa membiarkan dirinya tersenyum kecil mendengar gurauan lelaki itu setiap harinya, membiarkan lelaki itu membelikannya cemilan setiap pulang kerja, dan membiarkan dirinya menikmati lebih lama sunyi diantara mereka saat mereka duduk berdua di malam yang senyap. Arlena masih tidak berharap, perempuan itu masih membentengi dirinya. Namun bukan berarti benteng tersebut tidak bisa ditembus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Your Heart (ON GOING)
General FictionArlena mulai mempercayai bahwa akan ada cinta dan kebahagian untuknya. Namun itu semua sirna, hilang tak bersisa meninggalkan sakit hati dan rasa malu. "Ketika kau pergi jangan harap untuk kembali". Dia tetap pergi, meninggalkan Arlena yang hanya...