3.

81 11 1
                                    

"Tebak kita hari ini mau nonton apa?"

"Hmm, pasti film horror!" seru Ger semangat sampai-sampai ia rela berdiri tidak sabar menanti jawaban apakah tebakannya betul atau tidak.

Kami duduk bertiga di atas sofa ruang keluarga Prasetyo dengan nyamannya. Aku yang penakut memilih untuk duduk di tengah, di antara kedua manusia kesayanganku.

"Belum juga muncul setannya, udah takut aja!" katanya membuat Ger tertawa dan menarik bantal yang sebelumnya menjadi benteng pertahananku untuk bersembunyi dari setan-setan terkutuk di dalam TV.

"Gerald!!" teriakku sambil berusaha merebut kembali bantal pertahananku dari Ger.

"Ger balikin, kasian kakakmu nanti belum bisa ngumpet kalau setannya muncul." dan Gerald mengembalikan bantalku dengan tawa puas. Aku menggerutu sebal. Namun rasa kesalku hilang kala merasakan usapan pelan di puncak kepalaku. Rasanya sangat nyaman.

Tak ada lagi yang berbicara di antara kami bertiga selama jalannya film berlangsung. Aku cukup berani karena ternyata film yang kami tonton tak seseram covernya.

"Ger, pegal nih. Jangan kelamaan." keluhku yang mulai merasa keberatan dengan bersandarnya kepala Ger di pundak sebelah kiriku. Hal itu bukan lagi hal asing bagi kita berdua. Ger memang senang menyandarkan kepalanya padaku saat sedang manja-manjanya, terlebih saat menonton film seperti ini tiap akhir minggu.

"Sebentar lagi juga filmnya mau abis, iya kan, Yah?" tanyaku sambil menatap sosok Ayah yang duduk di sampingku.

Ayah tertawa. "Kalau mau abis aja, baru deh bawel." ejeknya membuat Ger ikut menyorakiku.

"Aduh, panggilan alam!" Ger tiba-tiba bangkit dari duduknya kemudian lari meninggalkan ruang keluarga menuju toilet untuk memenuhi panggilan alamnya. Aku dan ayah tertawa melihat tingkah Ger yang lari pontang-panting memegangi perut seperti itu.

Kini, tinggal tersisa aku dan ayah. Kita berdua kembali menatap layar TV dalam diam, tak ada yang berbicara lagi hingga akhirnya ayah memanggilku, "Kak,"

Aku menoleh ke arah ayah, "Hmm?"

Sambil mengusap-usap rambut hitamku dengan pelan, ayah mendekatkan wajahnya ke arah telingaku. Ayah berbisik, "Jagain Ibun dan Ger, ya."

Alisku spontan saling menaut, "Ayah mau dinas lagi?" tanyaku bingung. Ayah tersenyum, kemudian tak lama ayah mengangguk. "Iya... Ayah dikirim ke Palestina."

"Palestina? Tapi, Yah... di sana kan lagi...." kalimatku menggantung tak terselesaikan. Aku, Ayah, bahkan dunia tau saat itu Palestina sedang berperang melawan Israel. Dan tiba-tiba Ayah mengatakan kalau ia dikirim ke Palestina. Itu artinya...

"Itu sudah tugas Ayah, Kak, untuk saling membantu satu sama lain." Lagi-lagi ayah mengusap puncak kepalaku dan memainkan rambut hitamku dengan perlahan. "Sampai kapan, Yah?" tanyaku lagi, masih merasa khawatir dengan tugas ayah yang satu ini.

"Ayah tidak bisa memastikan, Kak." jawabnya. "Sudah, nggak perlu di khawatirkan, Ayah pasti baik-baik aja. Kakak doakan Ayah aja semoga Ayah cepat pulang. Oke?"

Dan dua minggu setelah hari itu Ayah pulang, namun tidak dengan nyawanya.

Kata teman-temannya, ayah sedang membantu korban yang terkena baku tembak untuk menuju pos kesehatan. Ayah pergi untuk menyelamatkan nyawa orang lain, tapi justru Ayah tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Ayah tertembak.

Aku terbangun.

Nafasku cepat.
Tubuhku banjir akan peluh.
Dan aku menangis.

Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Dan terhitung sudah sembilan jam aku tertidur dengan pulasnya. Aku bahkan lupa kalau sebelumnya aku tengah kesal dengan Ibun. Dan Kean? Ah aku meninggalkannya begitu saja.

Karena sudah merasa cukup lama tertidur, aku memilih untuk merangkak keluar dari atas ranjang. Aku melihat ke arah luar jendela dan menemukan lampu kamar yang tepat berada di seberang rumahku masih menyala dengan terangnya.

Aku membuka pintu jendela balkon kamarku dan angin malam yang dingin langsung menerpa tubuhku.

Ini pukul tiga pagi, dan aku berada di luar kamarku, tengah memperhatikan kamar laki-laki yang berada di seberang rumahku layaknya penguntit.

Aku ingin menarik lonceng kamar Kean yang terikat dengan kencang di besi balkon kamarku. Namun aku ragu.

Apakah Kean masih terjaga?

Atau mungkin Kean terlelap dan lupa mematikan lampu kamarnya?

Pertanyaan itu tak akan pernah terjawab dan hanya memenuhi pikiranku kalau aku tidak mencoba menarik tali lonceng buatan kita berdua sejak tiga tahun silam.

Bukannya menarik tali lonceng, aku memilih untuk duduk di bangku santaiku dan menikmati langit malam tanpa bintang.

"Ayah pasti baik-baik aja."

Kata-kata itu selalu terngiang di pikiranku. Bagaimana ayah akan baik-baik saja kalau saat itu juga ayah justru tengah menjemput maut!?

Aku mendengus kesal. Kalau saja ayah tidak ditugaskan untuk pergi ke Palestina, mungkin ayah masih ada di rumah ini. Mungkin ayah akan tetap bersama kami, dan akan terus menghabiskan waktu di akhir minggunya bersama aku dan Ger untuk menonton film bersama. Mungkin ayah tidak akan—

"—Windy?"

- - - - -

a/n : iya, gue emang paling gabisa bikin cerita sok-sedih macem gini :(
ga sedih kan? huuu :(

Arsiani
14.11.2016

Jendela RajutWhere stories live. Discover now