12.

39 5 0
                                    

"Windy?"

Seseorang memanggil namaku ketika aku membuka pintu utama rumahku dengan mata sembab dan hidung yang memerah.

Bukan. Kalau kalian mengira itu Kean, jawabannya bukan. Kean sedang di benua lain, ingat? Orang itu adalah Ibun.

Saat melihat mobil Ibun di garasi, kekhawatiran pertamaku sejak Ibun meninggalkan rumah setiap paginya menghilang dan akan seperti itu setiap harinya. "Kamu kenapa?" tanya Ibun lembut.

Kalau kalian ingin tahu, di dalam diriku sudah seperti tengah berlangsung perang emosi; sedih, marah, senang, lelah menjadi satu. Untuk itu aku tidak menjawab pertanyaan Ibun, melainkan lari ke dalam pelukannya.

Aku merasakan tangan Ibun mengelus puncak kepalaku dengan lembut, membuat aku merasakan apa yang sudah lama tak pernah ku rasakan lagi setelah ayah pergi. Aku merasa aman.

"Sudah, kamu istirahat dan mandi dulu, nanti kita makan malam bareng." kata Ibun ketika sudah melepaskan pelukanku. "Panggil Ger untuk mandi juga." sambungnya yang membuatku mengangguk dan langsung menjalani perintahnya layaknya militer.

Setelah menyampaikan apa yang Ibun katakan kepada Ger, aku masuk ke dalam kamarku dan menjatuhkan tubuhku di atas ranjang.

Setelah menyampaikan apa yang Ibun katakan kepada Ger, aku masuk ke dalam kamarku dan menjatuhkan tubuhku di atas ranjang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku memikirkan ucapanku pada Ara sore tadi. Ketakutan yang selalu menghantuiku saat orang-orang terdekatku pergi dan tak akan pernah kembali. Pikiranku yang selalu kembali mengulang kejadian saat mobil jenazah datang ke rumahku dan membawa ayah tidak dengan nyawanya. Aku tidak ingin kejadian itu kembali terulang.

Aku takut ketika Ibun pergi meninggalkan rumah setiap pagi untuk berangkat kerja, aku takut ketika Ger pulang larut malam, aku takut ketika Kean pergi ke NYC, aku takut mereka tidak akan kembali padaku untuk selamanya. Aku takut karena belum sempat mengucapkan kata perpisahan yang terakhir kalinya seperti saat mengetahui kalau ayah meninggal di Palestina.

Kadang aku suka berpikir, bagaimana kalau aku yang pergi meninggalkan mereka? Apakah mereka akan sama takutnya dengan diriku?

Ku ambil handphoneku dan menuliskan sesuatu kepada seseorang agar berjanji akan pulang dengan selamat.

"Kak, ayuk makan malam." suara ketukan pintu membuatku sadar kalau sedari tadi aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri. "Iya." jawabku dari dalam kamar.

"Kok belum mandi?" tanya Ibun saat ketiganya sudah duduk rapi di meja makan. "Windy capek bun, abis makan aja mandinya." kataku pelan menjawab pertanyaan Ibun yang hanya mengangguk setelahnya.

Hening menyelimuti untuk beberapa waktu yang membuat makan malam ini tampak berjalan lambat. Aku yang hanya menyibukkan diri dengan makanan ku teralihkan begitu saja dengan dehaman pelan Ibun.

"Um, Windy dan Ger, Ibun mau omongin sesuatu." kata Ibun pelan sambil meletakkan sendok-garpunya di atas piring yang telah kosong. "Dan ini hal yang sangat serius, yang mungkin akan berdampak ke depannya setelah Ibun mengatakan ini."

Jantungku sudah berdegup dengan cepat kala Ibun berbicara dan ingin mengatakan hal yang sangat penting. Kalau kalian mau tau, di pikiranku kini tengah berputar berbagai macam kemungkinan buruk yang mungkin akan Ibun katakan setelah ini.

"Ibun sudah memikirkan berbagai jalan keluar," kata Ibun menggantung, membuat jantungku bekerja di luar batas normalnya. Kedua telapak tanganku juga sudah basah, dan aku memiliki perasaan yang tidak enak. "Ibun ingin menjual rumah ini." dan jantungku rasanya berhenti berdetak.

Kemungkinan yang satu itu tak pernah terlintaskan sedikitpun dipikiranku.

- - - - -

a/n: hai!

Arsiani
1.02.2017

Jendela RajutWhere stories live. Discover now