17

52 4 0
                                    

Keesokkan paginya kabar yang ku dengar adalah Kean masuk rumah sakit. Aku kira Kean akan baik-baik saja kemarin. Ternyata, laki-laki yang bersandar di pundakku tidak baik-baik saja.

Kata tante Kiki, Kean ditemukan pingsan di dalam kamarnya dengan sebuah luka sayatan di tangan kanannya. Mendengar itu, tentu saja aku marah pada Kean. Dia mencoba bunuh diri! Untung saja tante Kiki tidak telat membawanya ke rumah sakit, kalau tidak...

Nggak kebayang bagaimana rasanya aku akan kehilangan satu orang lagi yang ku sayang. Apalagi ini Kean, laki-laki yang sudah menjadi bagian dari hidupku. Yang kini menjadi satu-satunya orang kepercayaanku untuk berbagi semua cerita hidupku.

Aku sudah duduk di samping ranjang Kean, ia masih terlelap. Rasanya damai melihat Kean tidur. Ini bukan pertama kalinya aku melihat Kean tidur, bahkan sudah tak terhitung lagi berapa, tapi ini pertama kalinya setelah satu tahun yang lalu aku melihat Kean terbaring dirumah sakit seperti ini.

Mengusap tangan kiri Kean pelan, aku hanya berharap laki-laki itu cepat pulih dan pulang ke rumah. Tidak ada hal lain lagi yang ku harapkan selain itu. Ya, hanya itu.

- - -

Merasakan sesuatu bergerak, aku terbangun. Ah, aku ketiduran? Dengan spontan aku langsung melihat ke arah Kean yang kini tengah tersenyum lemah.

"Ngantuk ya?" tanyanya dengan suara serak. Ia mengelus tanganku yang tak kusadari ternyata masih menggenggam tangan Kean. Aku mengangguk dengan tawa kecil, "Sekarang udah enggak, kok."

"Pulang, Windy, udah sore, lo capek nanti malah sakit." kata Kean pelan. Aku menggeleng, "Enggak, gue mau nemenin lo di sini malem ini. Lagian gue udah bilang Ibun sama tante Kiki, gue juga udah bawa baju."

"Emang ya, dari dulu lo gak bisa jauh sehari pun sama gue," kata Kean sambil tertawa pelan, "paling niat kalo udah mau nginep dirumah sakit." ledeknya.

"Abis gue nggak mau lo kesepian di sini." Kataku sepenuh hati sambil menatap Kean lekat. Lagipula, tante Kiki pasti tidak bisa menunggu dan menemani Kean setiap saat dirumah sakit, ia masih punya banyak kerjaan yang harus diurus. Aku? Dengan senang hati menawarkan diriku untuk menemani Kean karena kuliahku juga tidak terganggu, toh aku bisa kuliah di mana saja dan kapan saja.

Kean menatapku lembut, "Makasih ya, lo emang paling yang terbaik." katanya sambil mengelus puncak kepalaku dengan tangan kirinya yang tersambung dengan selang infus.

Untuk sesaat, kami berdua hanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa mengetahui satu sama lain. Sebenarnya, banyak pertanyaan yang berputar di dalam kepalaku tentang Kean, tapi rasanya berat untuk sekedar bertanya 'Lo ngapain, sih, Kean?' padanya.

"Lo udah kabarin Ibun?" tanyanya memecah keheningan ruangan 211 setelah hampir tak ada suara sedikitpun selama kurang lebih sepuluh menit.

"Udah," jawabku.

"Lo udah makan?" tanya Kean lagi. Untuk kedua kalinya aku menjawab pertanyaanny dengan jawaban yang sama. Rasanya aku ingin bertanya pada Kean tentang semuanya, tapi seketika nyaliku hilang begitu saja. Tapi rasa penasaran dan amarahku sudah tidak bisa ku tahan lagi. Jadi sekarang, giliranku yang bertanya.

"Kean," panggilku dan ia menggumam, "kenapa lo ngelakuin ini?" tanyaku. Akhirnya. Untuk sesaat setelah pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutku, Kean hanya diam dan menatap langit-langit ruangan.

"Kalau lo mau tau, gue capek, Windy." jawabnya langsung to the point. Aku mengernyit, "Capek karena apa? Bukannya Kean yang gue kenal itu kuat?"

Kean mendesah pelan. "Gue nggak bisa hadir di satu keluarga dengan seorang Papa baru di antara gue dan Mama. Rasanya lebih baik gue yang hilang dan membiarkan Mama memulai keluarga barunya lagi." jawab Kean.

"Lo harus tau Windy, ternyata laki-laki yang mau menikahi Mama adalah sahabat Papa dulu kecil. Setega itu dia mau menikahi istri sahabatnya sendiri? Gue nggak mau membiarkan Papa sakit hati karena perbuatan Mama yang jahat kaya gitu. Gue lebih memilih pergi nyusul Papa dibanding harus tinggal di dalam keluarga baru yang justru bakal menyakiti hati Papa di surga sana." kata Kean.

"Tapi semua ada jalan keluarnya, Kean. Nggak harus dengan bunuh diri. Lo tau kan, lo masih punya gue. Sebisa mungkin gue akan bantu lo melewati segalanya, Kean, sebisa mungkin." kataku sambil meremas pelan tangan kiri Kean.

"Tapi gue nggak sanggup, Windy, gue nggak kuat melihat Mama setega itu sama Papa."

Aku melihat sebuah air mata mengalir dari mata Kean, ia menangis. Dan aku tau, Kean bukan laki-laki yang gampang mengeluarkan air matanya kecuali ia benar-benar sedih.

"Gue bakal ada disamping lo Kean, yang lo butuhkan hanya keberanian untuk tau alasan apa yang tante Kiki lakukan untuk ini semua. Karena segala sesuatu dilakukan karena sebuah alasan." kataku sok bijak sebelum dikejutkan oleh datangnya seseorang ke dalam kamar Kean begitu saja.

- - -

a/n: Hai! Genap 2 bulan gak update. Pasti ini cerita udah ditinggal gitu aja sama pembacanya....

Arsiani.
30.07.2017

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 30, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jendela RajutWhere stories live. Discover now