5.

53 8 0
                                    

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti sebelumnya. Tidak ada kemajuan tentang hubunganku dengan Ibun dan Ger. Keduanya saling sibuk dengan urusannya dan tak ada sedikitpun waktu luang untuk berkumpul bersama setiap akhir pekan seperti dulu lagi.

Aku ingin Ibun dan Ger menjadi teman berkumpulku di akhir pekan dan saling berbagi kisah setelah menjalani hari-hari sebelumnya di luar rumah.

Kalau ada ayah, pasti Ibun dan Ger tidak mungkin tidak meluangkan waktunya untuk berkumpul bersama di akhir pekan. Pasti, sesibuk apapun kita, akhir pekan merupakan hari yang paling di nanti.

Tapi ayah sudah tidak ada. Itu artinya tidak ada lagi yang memaksa Ibun dan Ger untuk meluangkan waktu sibuknya. Aku? Aku bisa apa untuk memaksa Ibun dan Ger meluangkan waktunya?

Contohnya untuk saat ini. Kalian akan membacanya sendiri.

"Ibun," panggilku dari luar kamar Ibun yang pintunya tertutup rapat. Aku memanggil sekali lagi bersama dengan ketukan pelan. Namun, tak juga ada jawaban dari dalam kamar.

Karena merasa takut terjadi sesuatu dengan Ibun, aku mencoba untuk membuka pintu kamar Ibun langsung tanpa menunggu waktu lagi.

Dan Ibun ada di sana. Kamar Ibun pun penuh dengan alunan lagu-lagu kesukaan Ayah. Ibun yang tengah duduk di kursi santainya dengan sebuah rajutan berwarna biru di tangannya terlonjak kaget.

"WINDY!" pekik Ibun dan langsung menyembunyikan barang yang saat itu tengah Ibun pegang di balik tubuhnya saat melihat aku dengan begitu lancangnya membuka pintu kamarnya. "Kalau mau masuk ketuk dulu!" Ibun bangkit berdiri dan menekan salah satu tombol di remote yang membuat lagu-lagu yang sudah sangat ku kenal berhenti mengalun.

Ada perasaan lega dan sesal saat memberanikan diri untuk lancang memasuki kamar Ibun. "Tadi Windy sudah ketuk berkali-kali, tapi Ibun nggak jawab. Windy takut Ibun kenapa-kenapa." jawabku pelan.

"Memangnya kamu ada perlu apa?" tanya Ibun tidak merespon ucapanku.

Sejenak aku mencelos.

Bagaimana Ibun bisa melupakan kegiatan yang sejak aku berumur lima tahun selalu di lakukan tiap minggunya begitu saja?

"Ibun nggak bercanda, kan?" tanyaku masih tidak percaya. Ibun berjalan mendekatiku dan aku dapat mendengar decakan sebalnya. "Kamu itu kenapa sih? Ibun lagi serius nanya gitu malah kamu tanya balik dengan pertanyaan aneh."

Cukup.

Aku sudah tidak sanggup mendengar kata-kata Ibun yang sama sekali bukan Ibun. Lebih baik aku menyingkir saat ini.

"Nggak jadi. Lupain aja, Bun, Windy lupa tadi mau ngomong apa." aku mundur selangkah kemudian menutup pintu kamar Ibun dengan berat hati.

Aku berlari menuju pintu depan untuk keluar dari rumah ini sementara yang justru gagal karena disaat yang bersamaan aku dan Ger bertemu di pintu itu hingga saling terjatuh.

"Ah, brengsek!" maki Ger kesal saat melihat handphonenya terpental cukup jauh saat aku dan dirinya bertabrakan. "Ngapain sih Kak dirumah lari-lari?! Kaya orang kurang kerjaan aja!" bentakknya kesal sambil memungut HPnya yang terjatuh.

Aku tidak menjawab makian Ger. Aku tidak lagi sanggup menahan semua perasaan sedih dan marah disaat yang bersamaan seperti ini. Semuanya, ya, semuanya terlalu berat untukku saat ini. Aku tidak sanggup menerima kenyataan saat ini dengan cepat. Aku butuh waktu untuk melihat semuanya; kalau semua sudah tak lagi sama.

"Maaf, Ger." bisikku pelan saat Ger sudah melangkah menjauh menuju kamarnya.

Aku bangkit berdiri dan berjalan perlahan keluar dari rumahku untuk menenangkan pikiranku sejenak setelah mengalami tekanan bertubi-tubi.

Aku hanya menginginkan waktu berputar kembali dan menghentikkan mimpi buruk yang kini tengah menghantuiku.

- - - - -

a/n: Ternyata aku rindu juga nongol di dunia oren ini.....

Arsiani
14.12.2016

Jendela RajutWhere stories live. Discover now