14.

39 5 0
                                    

Kalian tau apa yang membuatku merasa lega setengah mati? Mengetahui Ibun memutuskan untuk tidak menjual dan akan terus memperjuangkan rumah ini.

Jawaban itu sudah Ibun berikan sebulan yang lalu, bersamaan dengan kepulangan Kean dari New York yang sangat dadakan itu.

Aku bercerita semuanya kepada Kean, semuanya oke? Dan Kean tetap menjadi Kean yang ku kenal—pendengar terbaik yang ku punya didunia ini.

"Ah, ternyata Windy gue bisa dewasa juga ya," kata Kean sambil mengusap puncak kepalaku lembut dengan permukaan tangannya yang hangat. Ternyata, tidak bertemu hampir satu bulan lebih sukses membuatku rindu dengan manusia yang satu ini.

"Masa gue jadi anak kecil yang cengeng mulu." kataku menjawab ucapan Kean yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban.

Kean tertawa pelan. Tawa yang ternyata juga aku rindukan karena lama tak mendengarnya. "Lo kan tetep jadi manusia termanja, cengeng, ngerepotin, teledor, dan pemalas yang pernah gue punya. Jadi ya, terima aja." kata Kean dengan senyum jahilnya. Aku hanya menggerutu kesal mendengar semua 'pujian' dari Kean.

Untuk sesaat aku dan Kean hanya duduk di balkon kamarku, saling menikmati hembusan angin sore dalam diam.

"Windy," panggil Kean setelah kurang lebih sepuluh menit kami saling diam. Aku hanya menoleh ke arahnya, menunggu kelanjutan darinya. Kean menarik tangan kananku yang bebas di atas pangkuanku kemudian ia menyelipkan jari-jarinya dengan milikku. "Jangan pernah pergi ya."

Aku terdiam sesaat kala Kean mengatakan hal itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku terdiam sesaat kala Kean mengatakan hal itu. Namun, akhirnya aku angkat bicara. "Yang ada, lo yang pergi ninggalin gue tanpa perpisahan dulu, Kean."

Kean mendesah pelan, "Soal itu... gue minta maaf. Bukannya nggak mau bilang sama lo, gue cuma..."

"Cuma apa, Kean?"

"Gue cuma nggak mau ada perpisahan diantara kita berdua, Windy. Gue pergi untuk sebentar, oke? Bukan selama-lamanya dan lo nggak akan pernah liat gue lagi. Makanya gue nggak kuat untuk 'pamit' sama lo." kata Kean dengan raut wajah yang terlihat sendu.

Kean benar-benar mengenal diriku. Aku benci perpisahan, dan ia tidak mau melakukannya. Denganku.

Dan kini, yang hanya bisa ku lakukan adalah memeluk laki-laki yang berstatus sahabat terbaikku dari kecil hingga saat ini dengan erat. "Lo tau, kalau gue sayang sama lo Kean." bisikku saat memeluknya. Dan aku bisa merasakan Kean tersenyum sambil memelukku balik.

Esok harinya, saat aku tengah berjalan-jalan pagi sendirian mengelilingi komplek, seseorang memanggil namaku, membuatku menoleh ke arah sumber suara.

Ara. Berdiri disana dengan ekspresi wajah yang siapapun bisa melihat kalau ia tengah sedih. Aku menunggu ia mendekat untuk menghampiriku. "Hai." sapanya pelan dengan suara serak. Aku menyapanya balik, "Hai."

"Windy, soal yang waktu itu..." sebelum ia sempat melanjutkan ucapannya, aku memotongnya. "Soal yang waktu itu lupain aja, Ra. Gue yang minta maaf, mungkin waktu itu gue emang lagi emosional aja." kataku sambil mengulurkan jari kelingkingku ke arahnya, "Kita temenan lagi, ya?" dan Ara menyambutnya dengan menautkan kelingkingnya padaku. "Kita teman."

- - - - -

a/n: Hai! Oke, di sini gue mau menjelaskan kalau cerita ini maju sebulan gitu ya.... biar nggak terkesan daily life banget muehe. Capek dong nanti ga ketemu2 sama akang Kean :(
Btw, makasih buat kalian yg masih baca sampai part ini!

10.03.2017
Arsiani

Jendela RajutWhere stories live. Discover now