15.

45 5 0
                                    

Minggu pagi yang cerah adalah kesukaanku, dulu. Setiap memulai hari Senin, aku pasti tak akan sabar menunggu untuk akhir pekan datang dan kemudian menghabiskan waktu bersama keluargaku, berbagi cerita selama beraktivitas sehari-hari ditemani dengan satu cangkir teh atau kopi, atau olahraga dengan berjogging mengelilingi komplek yang kadang Kean ikut bersama kami, atau bahkan mengganggu Ibun didapur yang selalu membuat kue untuk akhir pekan kami.

Tapi itu dulu, karena Minggu pagi ku kini hanya ditemani oleh selimut, guling, dan laptop serta suhu kamar yang mendukung untuk semakin betah berada di dalam kamar. Tak ada lagi Minggu pagi yang cerah, tak ada lagi Minggu yang dinanti-nanti semenjak kepergian Ayah.

Aku mendengar sebuah bunyi yang tak asing lagi ditelingaku. Ah, perutku keroncongan. Untuk itu akhirnya aku memutuskan untuk berjalan keluar kamar dan turun menuju dapur untuk memasak sesuatu yang akan mengisi perut kosongku saat ini. Namun, langkahku terhenti ketika aku melihat meja makan yang semalam kosong kini terisi dengan banyak makanan dan wangi yang menggugah selera.

"Kamu baru bangun," Ibun berbalik ketika sadar kalau ada seseorang yang tengah mengamatinya. Apron merah terikat ditubuh Ibun, sama seperti dulu ketika aku, Ger dan Ayah menunggu chef keluarga untuk menghidangkan makanan.

"Ayo, kita sarapan bareng. Kamu duduk dulu, Ibun mau bangunin—nah itu Ger, baru aja mau Ibun bangunin." kata Ibun sambil melepas ikatan apron merahnya dari pinggangnya kemudian menggantungnya disamping kulkas lalu berjalan menuju meja makan yang penuh dengan makanan tersebut.

Aku dan Ger duduk bersebelahan, seperti biasanya, lalu aku memandang panekuk di atas piring yang disiram dengan madu dan beberapa buah strawberry dengan perasaan haru—ini adalah sarapan kesukaanku sejak umur lima tahun!
Dan sekarang, Ibun menyajikan makanan itu untukku.

"Jangan lupa baca doa dulu ya," kata Ibun yang kemudian membacakan doa sebelum makan dalam diam. Aku dan Ger melakukan hal yang sama, dan dengan tak sabar aku langsung menyantap panekuk yang ada di atas piringku dengan lahap.

"Hari ini kalian pergi?" tanya Ibun ditengah-tengah kegiatan mengunyahku. Aku menoleh ke arah Ger, dan kami berdua saling menggeleng. "Enggak, Bun." jawab Ger. Mendengar jawaban tersebut, senyum Ibun langsung mengembang. "Kita nonton film, yuk!" ajak Ibun dengan antusias.

Sesaat aku hanya melongo dan menatap Ibun tidak percaya. Dan untuk menyadarkan ketidakpercayaanku, aku mencubit paha ku sendiri. Rasanya sakit. Oke, ini bukan imajinasi ku, ini nyata.
"Nah, kebetulan Ger baru aja beli film kemarin tapi belum di tonton. Kita nonton itu aja mau nggak?" tanya Ger dengan semangat, begitu juga dengan jawaban Ibun dan perasaan haru dan senang yang membuncah di dalam dadaku.

"Habiskan dulu makannya, nah, abis mandi nanti baru kita nonton film bareng. Ibun bikin popcorn deh! Oke?" seperti dulu, aku dan Ger dengan cepat berlomba untuk menghabiskan sarapan dan menuju kamar mandi lebih dulu supaya bisa menjadi orang pertama yang menunggu diruang keluarga. Dan sepertinya hari ini hal itu akan terulang lagi. Balapan mandi? Siapa takut!

Setelah selesai membantu Ibun membersihkan semuanya, aku dan Ger berlomba untuk masuk ke kamar masing-masing lebih dulu. Ketika aku membuka pintu kamarku dan melihat ke arah balkon untuk menyapa tetanggaku, langkahku terhenti ketika melihat ia tengah menangis dengan gitar di pangkuannya.

Aku berjalan mendekat ke arah balkon kamarku, kemudian berhenti sebelum akhirnya memanggil namanya. "Kean?"
Laki-laki yang kupanggil namanya itu mengangkat wajahnya dan sebuah darah merah mengalir turun dari hidungnya.

Tolong... jangan lagi.

- - - - -

a/n: Oh honey, it's just a wave.

Arsiani
11.03.2017

Jendela RajutWhere stories live. Discover now