9.

41 7 2
                                    

Tidak ada yang berbicara setelah kalimat itu keluar dari mulut Ibun. Gerald yang baru saja mengambil sepotong ayam goreng dipiringnya tak tersentuh sedikitpun. Begitu juga dengan nafsu makanku yang langsung hilang begitu saja.

"Maafin Ibun," ucap Ibun lirih. Ibun tak lagi menatap aku dan Gerald, berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya dari kami berdua.

"Tapi, Bun, gara-gara apa?" tanyaku hati-hati, begitu takut untuk salah mengatakan satu katapun. Ibun tidak menjawab pertanyaanku, tak juga mengangkat pandangannya ke arahku. "Bukannya kemarin Ibun baik-baik aja dengan klien-klien Ibun?" tanyaku lagi.

"Ini bukan karena klien," kata Ibun menjawab. "Ini soal Ibun." lanjutnya yang kini tengah menatap aku dan Gerald bergantian. "Kalian jangan khawatir, ya." kata Ibun lagi dengan sebuah senyuman penuh paksaan di wajah tirusnya.

Aku hanya menatap Ibun, begitu juga dengan Ger yang sudah tidak ada lagi keinginan untuk melanjutkan makan malamnya. Dan kalimat terakhir itu menutup makan malam hari ini dengan canggung.

Aku sudah kembali lagi ke dalam kamarku, berpikir mengapa Ibun mendadak dipecat begitu saja. Pasalnya, Ibun selalu menomorsatukan pekerjaannya tidak masalah itu hari kerja atau akhir pekan. Tapi mengapa? Apa alasan Ibun dipecat?

Aku berjalan keluar menuju balkon kamarku, ingin membicarakan ini dengan Kean. Tapi... jendela kamar Kean tertutup rapat, begitu juga dengan pintu balkon kamarnya yang juga ditutupi oleh tirai. Kean benar-benar tengah membuat jarak denganku. Dan aku kecewa akan hal itu.

Keesokan paginya, aku akhirnya terbangun setelah hampir delapan jam tertidur dengan pulasnya. Semalam adalah malam terpanjang yang pernah ku lalui. Mendapat kejutan bertubi-tubi dari orang-orang terdekatku cukup membuat aku merasa terbebani akan hal itu. Terlebih kini aku tak memiliki seorang temanpun untuk ku ajak berbagi.

Ini pukul sembilan pagi di hari Senin, dan aku baru saja menyelesaikan kuliahku satu jam yang lalu. Ibun sudah pergi entah kemana, ia hanya meninggalkan sebuah catatan di meja makan kalau Ibun tengah ada urusan. Ger? Ia sudah berangkat sekolah sejak pukul enam pagi tadi. Dan aku hanya sendirian di dalam rumah berlantai dua ini.

Merasa cukup penat selalu berada di dalam rumah setiap harinya, aku memilih untuk pergi berjalan-jalan keliling komplek, mencari udara segar.

"Angin!" panggil seseorang sedikit berteriak. Aku tersenyum lebar, membayangkan jika dengan konyolnya ia meneriaki angin yang tengah berhembus saat ini.

"Nggak denger!" kataku belum membalik tubuhku ke arahnya. Ia sudah berdiri dibelakangku, dan aku tau ia tengah menahan tawanya yang sebentar lagi pecah.

"Angin, bawalah jiwaku melayang." katanya sambil mengutip salah satu lirik lagu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Aku berbalik ke arahnya, dan baru saja menatap wajahnya, tawaku pecah begitu juga dengan dirinya.

"Sialan, Ara!" makiku kesal saat laki-laki itu sudah menyamakan langkahnya denganku. Ara hanya terkekeh pelan kemudian bertanya, "Lagi ada masalah?"

Aku menatap laki-laki yang kini tengah berjalan disisi kananku dengan aneh, "Memangnya setiap kali gue jalan-jalan keliling komplek itu tandanya gue lagi ada masalah?" tanyaku balik. Ara tersenyum, "Bukan gitu maksud gue, Windy. Bukan soal tentang jalan-jalannya, tapi tentang lo sendiri." katanya pelan.

"Gue nggak ngerti, Ra." kataku setelah mendengar kata-kata Ara. Lagi-lagi ia menanggapinya dengan kekehan pelan, "Lo, Windy! Wajah lo itu kusut banget, orang yang liat lo aja mungkin tau lo lagi mikir keras."

Untuk beberapa saat kita hanya berjalan dalam diam, dan tiba-tiba saja semua perkataan Kean tentang Ara yang mungkin 'bukan orang baik' berputar di dalam kepalaku seolah tak menemukan jalannya untuk keluar.

"Iya, gue lagi ada masalah, Ra." kataku akhirnya lagi-lagi percaya pada dirinya dan memilih untuk menolak semua perkataan Kean. "Mau cerita?" tawar Ara, dan aku mengangguk.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya menceritakan masalahku pada Ara. "Jadi, gue punya sahabat dan dia tinggal di sebelah rumah gue."

- - - - -

a/n : gue bingung, Kean - Windy / Ara - Windy ya...

Arsiani
10.1.2017

Jendela RajutWhere stories live. Discover now