4.

48 10 0
                                    

"—Windy?" Kean berdiri di sana. Di balkon kamarnya. Masih dengan baju yang sama ketika terakhir aku melihatnya. "Lo ngapain jam segini di luar kamar?" tanyanya.

"Kebangun, tadi mimpi." jawabku pelan. "Lo sendiri, nggak tidur?" tanyaku balik sambil menatap wajahnya kantuknya. "Kebangun juga. Tadi lagi ngerjain tugas buat persentasi besok eh ketiduran di depan laptop." jawabnya sambil tertawa pelan.

Aku ikut tertawa, tidak ingin membuat kesan canggung setelah kejadian kemarin sore. Untungnya, feeling-ku untuk tidak membunyikan lonceng kamar Kean benar. Kean tertidur.

"Tidur lagi gih." kataku menyuruh Kean untuk kembali masuk kedalam kamarnya. Saat ini aku berharap kalau Kean tidak bangun, seperti sekarang ini. Aku sudah terlanjur menikmati waktu sendiriku saat ini.

"Ngantuknya baru aja pergi, kebawa sama angin." candanya diikuti tawa khasnya. "Gue mau di sini aja."

"Besok lo kan kuliah, Kean. Kalau ngantuk gimana?" tanyaku yang lebih terdengar seperti mengusir Kean secara halus. Dan sepertinya, laki-laki di hadapanku saat ini merasakannya.

"Lo lagi ada masalah ya?" Kean mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih serius. Aku tau Kean ingin aku bercerita padanya, karena dulu, waktu ayah dikabarkan meninggal, Kean membuat perjanjian denganku kalau mulai saat itu apapun keadaannya kita berdua harus saling berbagi; entah itu kebahagiaan atau kesedihan.

Dan sepertinya Kean ingin aku untuk tidak mengingkari janji kita.

"Gue kangen Ayah, Kean." kataku pelan dan mulai terisak karena akhirnya kekuatanku untuk tidak mengucapkan sederet kata itu pun gagal.

Kean diam. Dia tidak memberikan respon apapun kecuali mendorong kayu panjang yang menjadi jembatan penyeberangan antara kamarku dengan Kean ke tengah balkon kamarku dan menguncinya dengan baut yang sudah disiapkan sebelumnya. Kean berjalan dengan hati-hati di atas kayu sepanjang dua meter dengan ketinggian kurang lebih lima meter dari permukaan tanah.

"Ternyata sudah lama juga gue nggak nyebrang kaya tadi." katanya ketika sudah menginjak lantai balkon kamarku. Kean menarik bangku santai ku yang kosong tepat di sampingku kemudian duduk dan menyamankan dirinya.

Untuk sejenak aku dan Kean hanya saling diam, sama-sama menyibukkan diri sendiri memperhatikan langit gelap tak berbintang.

"Lo tau kan," Kean berdeham, membersihkan suaranya yang serak. "lo selalu punya gue, Win." katanya menggantung. Aku menggumam, "Ya, gue tau."

"Lo nggak sendirian karena gue juga punya Papa, dan gue juga merasakan apa yang lo rasakan saat ini." lanjutnya.

Aku tertegun. Aku bahkan lupa kalau Kean sudah ditinggal ayahnya pergi untuk selamanya sejak kecil.

Bagaimana aku bisa lupa dengan sahabatku sendiri dan bertingkah egois seolah hanya aku yang merasa sedih?

"Kadang," Kean bersuara lagi, "ada waktunya gue nggak bisa menahan semuanya lagi. Gue kangen Papa, dan itu sakit, Win, karena gue sadar kalau terlalu sebentar waktu yang gue habiskan bareng Papa." lagi-lagi, Kean berdeham membersihkan suaranya yang entah mengapa selalu serak saat ini.

"Tapi, Win, satu yang harus lo ingat," Kean menoleh ke arahku dengan tatapan sendunya lalu ia menggenggam tanganku yang bebas di atas kedua kakiku.

"Tapi, Win, satu yang harus lo ingat," Kean menoleh ke arahku dengan tatapan sendunya lalu ia menggenggam tanganku yang bebas di atas kedua kakiku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jangan pernah berpikir sedikitpun kalau kepergian Ayah—Papa hanya akan membuat kita selalu merasa sedih." kata Kean sambil mengeratkan genggaman tangannya di antara sela jariku.

"Lo dan gue—kita, harus sama-sama kuat, Windy. Kita mengalami, merasakan, dan tengah menjalani hal yang sama. Jadi," Kean berhenti berbicara. Yang kini ia lakukan hanyalah menatapku yang sudah banjir dengan air mata. "Jangan sedih lagi ya." dan Kean menghapusnya.

- - - - -

Arsiani
21.11.16

Jendela RajutWhere stories live. Discover now