11.

37 5 0
                                    

Ada sebuah surat di tumpukan teratas di dalam kotak biru itu, dan namaku tertulis dengan nyata di sana. Aku mengambil kertas yang terlipat dua tersebut dan mulai membacanya.

Apa maksud Kean 'menyindir' tentang Ara? Kenapa pula Kean harus mengungkit Ara di dalam surat yang seharusnya tengah membuatku menangis saat ini, bukan membuatku kesal dan bertanya-tanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Apa maksud Kean 'menyindir' tentang Ara? Kenapa pula Kean harus mengungkit Ara di dalam surat yang seharusnya tengah membuatku menangis saat ini, bukan membuatku kesal dan bertanya-tanya.

Aku melipat surat itu dan mengantonginya ke dalam saku celanaku. Fokusku kini berpindah kepada foto-foto yang ada di dalam kotak biru tersebut. Begitu banyak foto Kean dan aku hingga hampir semua moment berharga diantara kami berdua tak pernah terlewatkan.

Ku lihat satu per satu foto yang ada di dalam sana dengan perlahan sambil mengingat kapan kejadian itu berlangsung. Ada foto saat aku dan Kean tersenyum dengan gigi ompong, ada foto saat aku menangis ketika terjatuh dari sepeda, ada Kean yang tersenyum lebar dengan ice cream yang mengotori kedua pipinya, dan masih ada banyak lagi hingga akhirnya aku menemukan sebuah foto ketika aku tengah menangis di samping sebuah makam.

Aku kenal makam itu.

Itu makam ayah.

Aku melihat foto itu lama, melihat dengan detil dan mengingat saat moment itu berlangsung. Sudah enam bulan yang lalu, dan rasa rindu saat ini tak sanggup ku bendung lebih lama lagi.

Aku menangis, persis seperti setiap ayah ingin pergi dinas ke luar kota atau negri untuk beberapa bulan dan menunggu hingga ayah pulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku menangis, persis seperti setiap ayah ingin pergi dinas ke luar kota atau negri untuk beberapa bulan dan menunggu hingga ayah pulang. Tapi, kali ini, tangisanku tidak akan pernah membuat ayah kembali pulang ke rumah. Selamanya.

Seandainya ada Kean saat ini... mungkin dia sudah memberiku berbagai macam kata-kata bijaknya yang selalu sukses membuatku tenang dan kembali menahan rindu lagi. Tapi sekarang Kean tidak ada di kamarnya, ia tengah menyebrangi benua untuk waktu yang cukup lama.

Handphone ku berbunyi ketika aku tengah menikmati kesedihanku sendiri.

Keandra: Windy?

Dan Kean selalu ada untukku dengan caranya sendiri.

- - -

Setelah menghabiskan waktu mengobrol dengan Kean lewat video-call di kamarnya, akhirnya aku pamit pulang pada tante Kiki yang memelukku sebelum berjalan keluar dari pekarangan rumahnya.

Ketika aku ingin melanjutkan perjalananku yang hanya kurang dari sepuluh langkah, aku melihat Ara di seberang jalan dengan senyum khasnya. Ia melambai ke arahku.

"Angin!" teriaknya memanggil namaku sambil berlari pelan menyebrang jalan menghampiriku yang sudah sampai di depan pagar rumahku sendiri. "Ara? Ada apa?" tanyaku heran melihat kehadirannya di sini.

"Gue bosen di rumah, mau jalan-jalan?" ajaknya yang membuatku spontan mengangguk. Ku pikir, aku juga membutuhkan udara segar setelah melewati siang yang cukup biru—dan seorang teman.

"Win," panggilnya ketika kami berjalan dalam diam. Aku menggumam, menyauti panggilannya. "Mata lo kok bengkak?" tanya Ara pelan sambil sesekali melihat ke arahku. "Abis nangis?" tanyanya lagi.

"Kean pergi ke New York, dan gue nggak tau hal itu. Kita bahkan belum bilang salam perpisahan." kataku menjelaskan pada Ara yang sebelumnya sudah pernah ku ceritakan mengenai Kean.

Ara mendecak pelan, "Salam perpisahan? Lo bakal ketemu dia lagi Win, kenapa harus pakai salam perpisahan seperti lo nggak akan pernah bertemu dengan dia lagi."

Aku spontan berhenti berjalan ketika mendengar perkataan Ara. "Justru itu yang gue takuti Ara! Gue takut orang-orang terdekat gue meninggalkan gue dan nggak akan pernah kembali lagi. Gue takut, Ra!" ucapku histeris yang membuat cukup banyak orang yang mendengar memasang mata padaku dan Ara.

"Windy, gue minta maaf." kata Ara pelan, tangannya ingin menyentuhku namun aku menepisnya dan mulai berlari meninggalkannya.

Kean bilang aku bisa mengandalkan Ara ketika aku tidak punya teman, tapi nyatanya Kean salah. Karena hanya Kean yang dapat ku andalkan.

- - - - -

a/n: ah... jelek.

Arsiani
26.01.17

Jendela RajutWhere stories live. Discover now