6.

62 8 1
                                    

Aku duduk di atas sebuah ayunan di taman tak jauh dari rumahku. Di pagi hari menjelang siang seperti ini, taman yang sering diisi oleh anak-anak untuk bermain kini tak lagi seramai dulu. Hanya ada aku, seorang laki-laki dengan buku di tangannya, dan ibu yang tengah menyuapi anaknya untuk makan.

Ibu dan anaknya.

Hal sederhana yang terasa begitu rumit bagiku untuk saat ini. Hubunganku dan Ibun serta Ger sangat jauh dari kata baik. Keluargaku nyaris hancur kalau aku tidak menyadari perubahan yang semakin melebarkan jarak antara satu sama lain.

"Boleh duduk di sini?" tanya seseorang yang membuat aku mengerjap sesaat. Laki-laki dengan bukunya yang tadi duduk di bangku taman tak jauh dariku kini tengah menunggu jawabanku yang sebenarnya tidak perlu ia tunggu. "Boleh." jawabku.

Laki-laki itu duduk dan mengayunkan pelan tubuhnya dengan mata terpejam. Ia sangat menikmati waktunya saat itu. Namun, tak lama ia berhenti dan menoleh ke arahku. "Kayaknya, dari dulu sampai sekarang ayunan tetap jadi mainan kesukaan gue." katanya dengan kekehan pelan. Aku hanya meresponnya dengan senyuman, namun menyetujui perkataannya dalam hati.

"Lagi ada masalah?" tanyanya.

"Memang kelihatan banget, ya?" tanyaku balik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Memang kelihatan banget, ya?" tanyaku balik. Tapi, bukannya langsung menjawab 'iya' atau 'tidak', ia justru tertawa. Aku bingung, bagaimana caranya agar bisa dengan mudahnya tertawa sesering itu seperti dia? Untuk belakangan ini, bagiku tersenyum tanpa dipaksakan adalah hal yang cukup sulit untuk aku lakukan.

"Mau berbagi cerita?" tawarnya yang dengan spontan di sambut oleh tautan alisku. Dia terkekeh lagi, "Oh, tenang, gue nggak akan memaksa privasi seseorang. Tapi," ia berhenti sejenak, seperti menimang-nimang kata sebelum ia menyuarakannya. "Gue boleh kan menemani lo di sini?"

Cukup kaget, kalau boleh jujur. Aku tidak menyangka ia akan berkata demikian. Terlebih, kita berdua hanyalah orang asing yang tidak saling kenal. Mengapa ia harus bertingkah sebaik ini terhadapku yang jelas-jelas ia tidak ketahui nama bahkan latar belakangnya. Bisa saja kan aku ini sebenarnya pembunuh bayaran?

"Kita belum kenalan," katanya seperti seolah membaca pikiranku sebelumnya. Atau memang laki-laki ini dapat membaca pikiran orang lain? "Nama gue Ara, dan gue tinggal di blok H-2 no 14, jaga-jaga kalau lo takut dan mengira gue adalah pembunuh bayaran." lagi-lagi ia terkekeh. "Dan lo?"

Kali ini aku benar-benar merasa takut terhadap laki-laki yang bernama Ara ini. Bagaimana bisa ia dapat membaca pikiranku!?

"Oit, jangan melamun." ia menyentuh lenganku, dan dengan sergap aku menjauhkan tubuhku darinya. "Oh, maaf." katanya saat menyadari kalau ia sudah memulai kontak fisik denganku yang bahkan belum percaya dengannya.

Dan saat ini terasa begitu canggung. Aku dan dia—Ara, duduk dalam diam dan saling mengayunkan ayunan masing-masing dengan pelan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tapi Ara tetap di situ, duduk dan menepati omongannya kalau ingin menemaniku.

"Windy," kataku membuatnya menoleh ke arahku dengan cepat. "Itu nama gue." jelasku. Dan bisa ku lihat kalau ia tersenyum walau sangat tipis. "Gue tinggal di blok H-6 no 13, jaga-jaga kalau lo mau membunuh gue dan dibayar oleh entah siapa." candaku yang membuatnya entah sudah berapa kali tertawa hingga membuat aku ikut tertawa.

Aku tertawa, bersamanya.

"Salam kenal, Angin." Ara menjulurkan tangan kanannya ke arahku. Aku menatapnya heran, haruskah aku menjabat tangannya?

Dengan ragu, aku menerima jabatan tangannya, menyambut tangan besar yang ternyata begitu hangat. Berbeda dengan tanganku yang selalu dingin dan basah. "Salam kenal, Ara." kataku diikuti sebuah senyuman yang tak bisa ku tahan.

Aku tidak pernah merasakan perasaan bahagia yang membuncah begitu saja di dalam diriku. Aku merasa begitu bahagia.

- - - - -

a/n: Hi, Ara!

Arsiani
18.12.2016

Jendela RajutWhere stories live. Discover now