16

36 6 2
                                    

Aku memanggil namanya lagi, lagi dan lagi, namun tak ada respon dari laki-laki tersebut. Dengan cepat, aku menarik kayu dan berjalan menyebrangi balkon kamarku menuju kamar Kean. Segera aku menghampiri Kean yang terkulai lemas dengan darah yang mengalir keluar dari hidungnya. "Kean? Bangun, Kean, gue di sini. Ayo kita ke rumah sakit."

Kean menggeleng, "Jangan ke rumah sakit. Gue nggak apa-apa, Weendie." katanya pelan dan ia justru menarikku untuk duduk disebelahnya. Kean meletakkan kepalanya di pundakku, dan diam. "Jangan bergerak, jangan ngomong, jangan kemana-mana. Di sini aja, sebentar kok." kata Kean lagi, dan aku mengiyakan.

Hanya diam yang menyelimuti kami berdua saat ini dengan posisi Kean bersandar kepadaku dan darah yang mengalir keluar dari hidungnya. Kalau kalian bertanya kenapa, Kean memang sering mimisan karena kelelahan. Namun, ini pertama kalinya lagi ia mimisan seperti ini setelah hampir satu tahun lalu yang menjadi kambuh terparahnya Kean karena ia harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari.

"Lo lagi capek ya?" tanyaku padanya setelah hanya saling diam selama sepuluh menit lebih. Ia hanya mengangguk pelan dipundakku. "Kampus atau...?" tanyaku mengantung, menunggu Kean untuk menceritakan sesuatu karena aku tau Kean pasti tengah banyak pikiran jika ia sudah merasa lelah. "Rumah, Windy."

Aku mengernyit bingung, "Mau cerita?"

Sebelumnya, Kean meminta untuk diambilkan tisu dan obat yang ia simpan di dalam laci meja belajarnya. Setelah menelan bulat-bulat kapsul berwarna putih tulang tersebut dan membersihkan darah yang--masih--mengalir keluar dari hidungnya, Kean bersandar lagi di pundakku. Ia menghela napas panjang.

"Kemarin... Mama bilang sama gue kalau dia mau..." Kean berhenti berbicara, aku mencari tangan Kean untuk menggenggamnya, memberi kekuatan sebisaku. Kean menghembuskan nafasnya, "Mama mau menikah lagi, Windy."

Berita yang cukup mengejutkan juga bagiku. Namun, aku tak berani untuk menanggapinya saat ini. Terutama dengan keadaan Kean yang sepertinya tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Untuk itu, aku memilih diam. "Lo tau kan, Win, kalau nggak ada yang bisa menggantikan Papa dirumah ini." kata Kean sambil terisak pelan.

Aku mengangguk, mengiyakan perkataan Kean. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok Ayah dirumah. "Dan yang gue bingung, Mama nggak pernah cerita sedikitpun kalau dia sedang dekat dengan orang lain. Itu yang bikin gue marah, Win." ucap Kean yang kini sudah sangat emosional tersebut. "Iya, Kean... gue ngerti kok." kataku sambil mengusap pelan permukaan tangan Kean yang ku genggam erat tersebut.

"Gue bahkan nggak tau laki-laki seperti apa yang mau menikah dengan Mama, bagaimana sifat dan sikapnya, apa pekerjaan dia, apakah dia sudah berkeluarga atau belum, gue nggak tau itu semua, Windy." Kini Kean menangis sejadi-jadinya. Aku menarik dirinya kedalam pelukanku dan memeluknya erat, mencoba untuk memberikan seluruh kekuatanku untuknya. Untuk Kean.

Untuk beberapa saat Kean hanya menangis di dalam pelukanku dan begitu juga dengan aku yang hanya mendengarkan isak tangis laki-kaki yang tengah ada di dalam pelukanku. "Kalau gue jadi lo..." ucapku, mencoba untuk membuka pembicaraan lagi sekaligus menghibur Kean. "Gue mungkin akan melakukan hal yang sama kaya lo saat ini. Bahkan, gue akan lebih hancur daripada lo, karena lo juga tau bagaimana berharganya Ayah di mata gue selama ini." kataku lagi. "Tapi Kean, lo harus percaya, kalau gue pernah memikirkan hal ini. Gue pernah mikir bagaimana kalau Ibun menikah lagi, dan membangun keluarga baru kita dengan sosok laki-laki yang berbeda. Gue juga nggak tau harus sedih atau senang melihat sosok Ayah yang baru datang di keluarga kami. Tapi gue percaya, mungkin memang itu sudah waktunya."

"Lo harus kuat, Kean. Coba tanya Mama, dan bilang kalau lo mau ketemu sama calonnya Mama dulu sebelum Mama masuk ke tahap yang lebih jauh lagi. Gue percaya, mungkin dengan cara itu lo bisa menentukan pilihan ke depan lo bagaimana." kataku lagi mencoba untuk memberikan usul atas masalah Kean. Aku terlihat seperti anak yang sok tau saat ini, tapi percayalah, aku juga pernah memikirkan jika hal ini terjadi, dan aku sudah memiliki jawaban aku harus berbuat apa.

Kean melepaskan pelukanku, dan kini dia hanya menatapku dengan sendu. Kedua matanya memerah, dan aku belum melihat senyum jahilnya hari ini. "Lo tau, Windy?" tanya Kean padaku yang bingung dengan ucapannya. "Tau apa?" tanyaku.

"Kalau lo juga nggak bakal bisa tergantikan." kata Kean dengan senyum yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Senyum menawan yang seketika membuat jantungku berdetak lebih kencang dan kedua pipiku memerah.


- - - - - 

a/n: Ah... lama nggak nulis jadi bingung sendiri huhu. Jelek ya? Iya emang hff

Masih adakah yang mau baca? Gue aja sampe lupa ceritanya bakal gimana...

Arsiani

30.05.2017

Jendela RajutWhere stories live. Discover now