5. Tiga Jam Sebelumnya

20.5K 607 3
                                    

Partnya agak panjang ya.
Tapi tetap siapkan kipas barangkali kepanasan.

"Menginap saja disini. Besok baru kau kerjakan tugasmu."

"Tidak bisa, ini harus segera diselesaikan. Besok kita masih bisa bertemu saat jam istirahat. Dan aku sudah memesan taxi." Arletta mengecup pipi Arya.

"Baiklah jika kau bersikeras. Hati-hati dijalannya ini sudah malam."

Arleta tertawa, "Mas Arya, ini baru jam 9 malam masih sore." Protesnya manja. Ia senang Arya mengkhawatirkanya, walau keperawanannya diambil. Toh itu bukan paksaan dan ia menikmatinya. Dan bagian bawah tubuhnya masih berdenyut nikmat akibat tumbukan Arya yang tak berkesudahan.

"Baiklah," Arya tersenyum mengalah. Arya memberi kecupan perpisahan kemudian mengantarnya keluar.

Langit malam begitu pekat dan angin berhembus kencang. Sepertinya akan ada badai.

Untunglah taxi segera datang, Arya membukakan pintu untuk Arletta. Sejenak ia tertegun menatap kebelakang dengan sigap tetapi tak ada apapun atau siapapun.

Aneh! Rasanya tadi ada yang menatapnya begitu tajam hingga kudukku berdiri.

"Ada apa mas?"

"Tidak," Arya menggeleng ragu. "Sesampainya dirumah segera kabari."

"Iyaaaa booos," Arletta tertawa geli.

Dan taxi pun berlaku ditelan kegelapan malam. Angin berhembus semakin kencang, Arya segera berlari masuk kedalam.

"Ratih, antar kopi ke kamarku." Ujarnya berteriak pada seseorang yang selalu menyendiri di dapur. "Sepertinya akan ada badai kunci pintunya."

"Baik tuan." Ratih membuat kopi terlebih dahulu baru akan mengunci pintu. Tepat ketika ia sedang menyuguhkan kopi, terdengar bunyi bel bersahut-sahutan.

Teeeet teeeet teeeeeeeeeeeet!!

"Tidak sabaran sekali, sana lihat siapa. Aku mau mandi dulu."

"Baik tuan." Ratih tergesa-gesa menuju ruang depan. Tetapi ketika pintu terbuka, tak ada siapapun.

Aneh! Orang iseng malam-malam begini. Jangan-jangan hantu?!

Bulu kuduk Ratih mendadak meremang. Segera ia mengunci pintu depan dan segera kabur ke kamar tuannya.

Saat itu Arya hanya mengenakan boxernya, sampai-sampai air liur Ratih menggenang menjadi danau.

"Ada siapa?"

Ratih menelan ludah, "tidak ada siapa-siapa tuan."

Arya tak ambil pusing, percintaannya dengan Arletta menguras tenaganya. Yang ia butuhkan hanya mandi dan tidur. "Sudah sana kembali ke kamarmu."

Ratih masih terdiam di tempat.

"Pergi sana. Aku tidak membutuhkanmu. Arletta menguras tenagaku."

"Baik tuan." Ratih mundur kemudian menutup pintu.

Tetapi tak lama kemudian Arya berteriak. "Ratiiih!"

Ratih tergopoh-gopoh menuju kamar Arya. "Ada apa tuan?"

"Pijit kakiku."

Selama setengah jam Ratih memijit kaki Arya otot-otot kakunya mengendur, hingga pria itu mengantuk keenakan.

"Sudah sana kembali. Buka jendelanya kamar ini begitu pengap."

"Ini sudah malam, saya nyalakan AC nya saja ya tuan."

"Aku butuh udara segar, Ratih."

Tanpa membantah lagi Ratih membuka jendela dengan takut-takut masih terbayang bel yang bersahut-sahutan tadi.

Darah Perawan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang