Do i deserved to be happy?

240 6 1
                                    

Tifanny POV

Aku berjalan menatap kosong dan sepinya lorong - lorong rumah sakit ini. Aku memutuskan pulang setelah apa yang kulihat dan terjadi hari ini di-rumah ku.  Tidak ada hal  lain yang aku rasakan saat ini. Aku hanya merasa kosong. Ya kosong. Rasanya begitu menyesakkan, tetapi entah aku justru pun merasa lega. Lega karna aku akhirnya menyadari dan membuka mataku. Bahwa tidak selalu perhatian dari orang yang selama ini selalu ada disisiku dan membuatku bahagia, pun bahagia bersamaku. Aku menyadari seseorang yang selalu terlihat menyayangiku selama hampir delapan tahun lamanya, akhirnya berputar arah setelah bertemu wanita lama yang lebih istimewa dihatinya. Tidak ada air mata yang keluar dari mataku. Sesak rasanya hingga aku tidak bisa berkata dan menangis lagi saat ini. Bodoh. Ya, akhirnya aku menyadari bahwa mencintai orang itu membuatku bodoh.

Aku memutuskan untuk pulang dengan taksi, lagi pula Dave juga sepertinya tidak ingin menjelaskan apapun padaku. Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada Rey. Aku tidak tahu harus memberi tahu dan bercerita kepada siapa lagi selain Rey, hanya Dave dan Rey lah yang selalu menjadi tempat keluhanku selama ini.

To: Rey
u know what happened, right?

Hanya dalam hitungan detik aku mendapatkan balasan pesan darinya.

From: Rey
U okay?

Aku hanya tersenyum singkat membaca pesannya dan tak ingin membalasnya. Hanya dengan pesan sesingkat itu saja, Rey tahu aku sedang terluka. Aku menyadari satu hal kali ini. Dave sungguh berusaha dengan hatinya untuk menjaga  agar Chassa tidak jatuh hati pada Rey, karna akupun tahu jika Rey memang sering menyakiti dan berganti pacar sesuka hatinua. Tetapi yang menyakitkan bagiku adalah tidak sekalipun dalam hidupku selama delapan tahun menjadi teman dan saat ini sebagai tunangannya, tak sedikitpun ia melarang aku dekat dengan Rey. Mungkin Dave memang sangat mempercayai aku dan Rey, atau.. memang Dave tidak perduli dengan apa yang aku lakukan.

***
Pagi yang cerah hari ini. Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan CEO perusahaan ini.

"Hmmm Tiff..."  Dave menggantungkan kalimatnya saat aku masuk kedalam ruangannya.

Aku mendongakkan kepalaku dan hanya tersenyum simpul seolah tak ada yang terjadi semalam.

"Sorry...."

"Hmm" aku berpura - pura menyibukkan diriku merapikan berkas yang berserakan di meja Dave.

"Tiff , sorry. Really i mean it"

Aku akhirnya berdiri dan menatap Dave dengan senyum simpul.
"Dave, aku tahu dan paham dari dulu, kamu tidak pernah memberi tahuku, u do love me or not. Aku menyadarinya sekarang, it's not because i know you love me. It's because i can't stand to hear you don't love me" aku berusaha menahan air mataku untuk mengalir. Ku lihat Dave masih terdiam mendengar ucapanku.

"Cause you never do it to me what you do to her. It's not because you didn't care. It's just because you don't feel the same towards me, Dave" air mataku turun karena perkataan itu keluar dari mulutku.

Aku mengangkat tangan kananku. Dan melepaskan benda yang melingkar dijari manisku selama setahun terakhir. Aku berjalan menuju Dave, menarik lengannya  dan meletakkan cincin pertunangan kami di tangannya.

"I deserved to be happy too, Dave"
Aku tersenyum dan berlalu meninggalkan ruangan ini. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan Dave, bukan karna ia takut. Tapi karena itu benar sifatnya. Ia takkan menyela yang aku katakan jika memang yang aku katakan benar untuknya.

Best friend or Lover?Where stories live. Discover now