Saat bertemu dia, aku masih lugu. Tidak tau apapun, tidak memiliki apapun. Maklum, aku hanya seorang siswi SMA yang baru kenal 'pacaran'. Tapi, sekejap aku lupa segala hal saat ia berkenalan denganku. Kisah kami mulai dari situ.
Namaku Cassandra. Panjangnya, Cassandra Jasmin Alia. Saat ini, aku tinggal di Sanur, Bali, bersama kedua orangtuaku, Jason dan Kadek. Iya, aku lahir di Bali dan besar juga disini. Sudah 23 tahun aku menghirup udara dari atmosfir di Pulau Dewata yang terkenal banyak 'bule'-nya ini. Tapi, nggak persis 23 tahun sih, karena selama 3 tahun aku sempat tinggal di Jakarta, karena kakek nenekku tinggal di Jakarta.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selama 3 tahun di Jakarta, aku tinggal di 2 rumah. Yang pertama, rumah kakek nenekku yang adalah orang Jawa dan Bali. Aku sayang kakek nenekku, tapi gejolak jiwa ABG memang gak bisa ditahan. Susah bagiku untuk cari waktu jalan bersama teman-temanku yang sebagian besar adalah keturunan asing sepertiku. Kakek nenekku adalah orang yang percaya, bahwa cewek tidak seharusnya pulang diatas jam 8 malam. Sementara teman-temanku aja baru keluar rumah jam 10 malam. Jadi, kehidupanku di Jakarta gak menyenangkan sama sekali sampai Om-ku, Matthew (adik ayahku), menawarkan untuk tinggal dengannya di salah satu cluster bergengsi di daerah Pondok Indah. Kebetulan waktu itu aku bersekolah di sekolah privat internasional, dan tempat tinggal Om jauh lebih dekat dengan sekolah dibanding kakek nenekku yang tinggal di daerah Jakarta Pusat.
Aku ingin cerita kehidupan di Jakarta yang seru banget itu. Tapi rasanya lebih pantas kalo aku cerita kehidupanku yang sekarang di Bali ini. Rasanya lebih pantas aja. Masa' belum apa-apa udah flashback. Hehe.
Aku sekolah kuliner di Sanur. Sebelumnya, waktu umurku 17 tahun, aku agak bimbang mau ambil ilmu Politik atau kuliner. Dulu aku ingin sekali kuliah di Universitas Udayana. Entah kenapa, rasa penasaranku untuk menimba ilmu disitu hilang begitu aja, setelah aku menyusuri daerah-daerah terpencil di Bali, yang kurasa potensi untuk membuka usaha bertemakan kuliner bisa besar banget. Kebetulan istri Putra (kakakku), sudah berhasil membuka usaha kuliner. Sayangnya, sudah jauh dia, jam terbangnya. Cabangnya pun sudah sampai Jogjakarta. Jadi aku masih perlu banyak banget waktu dan pengalaman untuk menjadi seperti Kak Laila.
Sudah siang di Sanur. Rumahku hanya berjarak 2 km dari Pantai Sanur, deket banget. Aku bangun jam 8. Biasanya, hal pertama yang aku lakukan adalah menelepon asistenku, Anindita, untuk mengecek kondisi restoran punyaku di Kuta. Saat ini restoranku baru ada 2 cabang, di Kuta, sebelah Beachwalk, dan di Sanur. Yang di Sanur, aku kontrol sendiri.
Kebayang nggak? Setiap pagi kamu bakal langsung melihat pemandangan pantai dari jendela kamarmu? Itu yang aku dapatkan. Rejekiku setiap pagi. Hehehe. Sunrise disini memang gak sebagus bayangan kalian, tapi sunrise adalah sunrise. Dimana-mana pasti indah.
"Halo, Nin," kataku sambil mengoleskan selai coklat di atas roti gandumku.
"Iya, Min. Aduh, hampir aja gue kesiangan. Maaf ya. Untung pegawai kita tepat waktu dan punya kunci serep," suara si Anin ngos-ngosan. Anin dan sahabat-sahabat sepermainanku sebagian manggil aku Jasmin dan ada juga yang panggil aku Cass. "Rame banget nih Kuta."
"Iyalah. Namanya juga hari Sabtu," aku menghela nafas sebelum melahap rotiku. "Iya gak apa-apa. Lain kali alarmnya taro di bawah bantal lu ya."
Aku cuma suka berkunjung ke Kuta seminggu 2 kali. Paling banyak 3 kali. Mungkin aku akan tukeran sama Anin kalo nanti apartemenku yang di Kuta sudah selesai dibangun. Habisnya gimana ya, customerku di Kuta pasti lebih banyak dibandingkan Sanur. Makanan yang kusajikan adalah makanan fusion, mix antara makanan khas Bali, Jawa dan Eropa.