Saat bertemu dia, aku masih lugu. Tidak tau apapun, tidak memiliki apapun. Maklum, aku hanya seorang siswi SMA yang baru kenal 'pacaran'. Tapi, sekejap aku lupa segala hal saat ia berkenalan denganku. Kisah kami mulai dari situ.
Malam ini aku tidur di apartemenku. Aku seneng karena tempat ini udah dalam proses finishing. Tinggal satu kali lagi para tukang datang untuk mengecek apakah semuanya sudah berfungsi dengan benar. Terutama saluran air bersih disini dan juga aliran listrik untuk bagian dapur. Terlebih untuk exhaust udara atau asap yang keluar dari dapur. Sepertinya sebentar lagi aku akan resmi tinggal di sini dan pindah dari rumahku.
Mengenai pindah tempat tinggal, orangtuaku sudah setuju, agar melatih kemandirianku. Pola pikir Daddy yang masih sangat kebarat-baratan berujung keputusan antara Mama dan dia yang mengijinkanku memilih dan membeli propertiku sendiri yang pastinya tanpa bantuan sepeserpun dari mereka.
Pagi ini aku bangun lalu bersih-bersih lantai, sofa dan meja ruang tamuku. Aku puas banget karena bisa milikin semua ini dengan jerih payahku sendiri. Sepertinya aku mau menghabiskan waktuku disini seharian. Well, mungkin ke luar sih karena masih banyak perabot printilan yang aku harus beli untuk mengisi kekosongan disini.
Sial. Aku kesel, kenapa aku harus kangen sama Jeffrey... I miss seeing his teethy smile. Kalo senyum sumringah, dia mendadak jadi cowok paling manis sedunia. Jeffrey itu punya lesung pipit sebagai senjata andalan dia terhadap cewek-cewek lemah.
Morning Jeffrey.. :)
Yep, it's crystal clear, aku gak kuat gak hubungin dia. Selagi dia di Bali, aku gak bisa pura-pura gak mau ketemu sama dia. Aku punya prinsip kalo aku tidak mau menyesal.
Suprisingly, dia langsung membalas pesanku.
Hi Cass
Sambil mikir mau bales apa, aku ke dapur untuk membuat roti panggang, scrambled egg dan jamur tumis.
I don't know what I'm thinking this morning. I hope you're okay. Bisa ketemuan?
Jantungku kayak mau jatuh ke lantai setelah aku tekan tombol kirim.
Lima menit, sepuluh menit, akhirnya ada balasan masuk.
In a heartbeat. Where?
Oh gooooddd. Dia mau ketemu! Aku kira dia bener-bener murka sama aku. Aku senyum-senyum sendiri balas chat dia.
Aku gak tau kamu tinggal di mana. Will you pick the place?
Jeff langsung balas.
Nana's Kitchen. Lunch time. See you there
Aku terkejut dia bisa tau tempat yang lumayan ramai dan gampang dicarinya disitu. Aku lihat jam dan sekarang sudah jam 10.51.
Sebenernya, aku bisa merasakan sedikit kekesalan di pesan Jeff. Dia sangat lugas dan tanpa basa-basi. Tapi aku senang dia masih mau ketemu sama aku, setelah kejadian gak menyenangkan 3 hari yang lalu itu.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mandi, really cleaning up the mess on my face. I look like a ghost, beneran. Aku kehilangan satu orang di hidupku, dan hampir kehilangan dua orang. Semoga itu gak jadi kenyataan. Tapi aku belom bisa 100% yakin akan hal itu.
11.35, aku berangkat ke Nana's kitchen yang hanya 5km dari apartemenku. Aku menggunakan blus off shoulder berbahan lace, dengan make up bernuansa pink, gak berlebihan tapi gak bisa dibilang no-make up juga. Jujur aku agak sedikit pucat pagi ini, jadi aku sedikit ingin menutupinya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tepat jam 11.55 aku sampai di Nana's Kitchen. Karena tempatnya cukup luas dan ramai, butuh sedikit effort untuk mencari Jeffrey, jika memang dia sudah datang.
Aku berjalan dan menengok ke arah yang lebih dalam. Disitu aku melihat Jeff pakai kemeja lengan pendek (suatu pemandangan yang sangat jarang kutemui) dan jeans hitam yang agak pudar. Dia sedang menghisap rokoknya dengan kacamata hitamnya, dan baru saja mengunci layar ponselnya. Dia belum melihatku. Pasti dia sudah duluan di sini sebelum jam kita janjian ketemu. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku segera berjalan ke arahnya. Ya Tuhan tolong aku.
Aku sudah semakin dekat dengannya.
Oh Tuhan...
"Hai Jeffrey..."
Dia senyum, walaupun terlihat tidak lepas.
"Hai. Sit down," ujarnya tegas.
Aduh, kenapa jadi tegang begini sih? Aku sebenarnya berharap kita berdua bisa sama-sama lepas dalam mengungkapkan isi pikiran satu sama lain.
"Is there anything you'd like to tell me?" Ia menyalakan sebatang rokok.
"Emmm...," sumpah, aku gak tau harus berkata apa, kalau di todong begini. "Aku, emm, aku gak... Aku bingung mau ngomong apa. Hehehe."
"Aku... Emm... Aku, aku sejujurnya merasa bersalah sama kamu, Jeffrey. Aku mau minta maaf."
Tatapannya berubah menjadi serius.
"Aku nggak menganggap kamu bersalah. Aku hanya kesal ke kamu. Aku rasa kamu seharusnya bisa lebih pintar dari perbuatanmu. You're better than that, Cass. You're smart. That's why I like you. I think you're wise at your age, and you're so darn smart doing your thing," ia mendecak dengan lidahnya. "And you let a guy ruin those things? What the hell, Cass?"
Aku hanya bisa menunduk.
"I just think, maybe I should just stop thinking about what's the best for you. You got your back, anyway. You're responsible for anything. I think that would be great. As a friend, I would let you do your thing. Dan sebaliknya, aku yang harus meminta maaf kepada kamu. I am sorry, Cassandra. I truly am."
Aku hampir menangis dengar kata-kata itu.
"Jeff... Aku nggak suka memikirkan hal-hal tentang pacaran. The boyfriend thing, mostly I just give it all up. Aku nggak begitu peduli. Dan kalau sampai aku bertengkar sama Bram, I never took it seriously. Aku nggak pernah secara serius memikirkan itu. Karena itu menurutku nggak penting."
"If that's so unimportant to you, why do it anyway? Kenapa berpacaran? Putus saja. Kamu jangan memikirkan dirimu sendiri. You did that until you forgot, that guy has crushed you, what you are. If you are so able of stand for yourself, why would you need support of someone you didn't take seriously? Seriously, how selfish you are, Cassandra?"
Semua yang dia katakan, make sense untukku. Dia benar. Kenapa aku bahkan menjalin hubungan dengan orang yang gak begitu aku pedulikan? Selama ini aku hanya menganggap itu hal yang tidak serius dan biasa saja.
"I'm sorry, Jeffrey. I didn't think of that."
"As a friend I don't really mind anymore. I think kamu sudah dewasa, Cassandra. Kita lupakan saja, ya?"
Dia nggak peduli lagi... God what have I done? I just lost my best support.
"Okay. But... Aku gak mau kamu... Ah, Jeff... Jangan begitu."
"Aku nggak marah, Cassey. I said kita lupakan saja."
"Tapi.. Nggak. Aku tetap minta maaf sama kamu, aku merasa bodoh banget," aku menunduk dan menggelengkan kepalaku.
"It's okay. We'll get through it."
Pembicaraan selanjutnya, Jeffrey mungkin merasa tidak nyaman dengan topik ini, jadi dia mengalihkan topik pembicaraan dan membicarakan tentang apartemen baruku, dan kakakku. Pada akhirnya dia memberitahuku dimana dia tinggal sekarang. Itu pun setelah aku tanyakan langsung ke dia. Mungkin kalau aku gak tanya, dia gak kasih tahu.
Sampai jam 8 malam, akhirnya kita berpisah setelah berpindah ke kedai ice cream. Meskipun aku merasakan Jeff kesal ke aku, aku tetap lega karena sudah menyampaikan apa yang kurasakan ke dia.
Besok malam dia akan menjemputku lagi. Bertemu lagi.