lima

41 28 0
                                    

Malam minggu ini hujan turun lagi. Membasuh bumi yang kering dari tiga hari lalu tepatnya kamis malam.

Pada hari jumat sampai Sabtu pagi Putri hanya tidur tiga jam saja. Ia mengikuti mabit di sekolahnya. Dari mulai jumat sore sampai sabtu paginya, gadis itu dipadatkan dengan acara-acara yang diadakan di sekolah barunya, kini ia sudah resmi menjadi Anak Murid SMP favorit Derana Sakti.

Sebuah suara menghentikan fokus masing-masing lima orang dalam ruang keluarga tersebut.

Suara itu berasal dari hp yang dipegang seorang yang tangah berbaring menyamping. Seseorang itu mengeceknya dan membaca isinya.

081xx:
Hay:) ini Putri kan? Anak gugus 7? Aku temen segugus kamu loh.

"Dari siapa dek?" suara seorang anak remaja laki-laki mengagetkannya.

"Hah?" Putri bertanya balik kepada seorang yang memberi pertanyaan. Dengan menolehkan wajahnya terlebih dahulu tentunya.

"Itu dari siapa sms-nya?" laki-laki itu bertanya dengan nada penekanan. Sejenak ia hentikan kegiatan bermain congklaknya. "Dari temen Abang bukan?" jadi ponsel yang gadis itu pakai adalah milik kedua saudaranya juga.

Laki-laki yang bertanya tadi adalah anak tertua dari keluarga tersebut.

"Ohh.. eumm... dar-i opra--" gadis kecil yang mulai bermetamorfosis menjadi seorang remaja itu berbicara dengan sedikit kegugupan.

Ia dilanda kebingung. Apakah ia harus memberikan jawaban bohong atau jujur? Ia berpikir cepat tentang jawaban apa yang harus ia berikan kepada abangnya dan yang lainnya. Semua orang yang tengah menatapnya heran.

Bohong itu gak baik Put, inget yang dibilang semua orang! Putri mengingatkan dirinya sendiri dengan penuh keyakinan.

"Ehh salah... dari temen maksudnya," lanjutnya menjeda lagi. "Dia mastiin kalo ini nomor yang bener bisa dihubungin apa engga." ucap Putri menyelesaikan penjelasannya.

Putri tidak berbohong. Itu memang sms dari temannya. Namun masalahnya, yang mengirimi ia pesan bukan seseorang yang ia beri nomornya.

"Oh..." abangnya ber-oh-ria sambil mengangguk mengerti.

Dan yang lain pun melakukan hal yang sama. Anak laki-laki itu melanjutkan kembali permainan congklaknya bersama adik bungsunya. Ayah dan bundanya pun melanjutkan menonton tv.

"Puput ke atas ya? Temen Puput mo telfon katanya." Putri berdiri dari posisi semula.

Abang dan adiknya masih terfokus pada mainan mereka. Ayah dan bundanya menolehkan pandangannya kepada asal suara.

"Temen kamu cowok-cewek Put?" tanya ayahnya mengalihkan pandangan semua orang. "Gapapa kalo cowok juga. Asal fokus kamu harus tetep nomor satuin belajar! Kalo bisa jangan pacaran dulu." Putri tau alasannya apa. Ia paham kekhawatiran ayahnya itu. Apalagi dunia ini setiap tahunnya selalu membuat dan menambah kekejaman setiap orang demi dirinya sendiri.

"Temenan atau sahabatan boleh. Ayah sama Bunda engga larang kamu berteman dan bersahabat sama siapa aja." ucap sang paruh baya menghela nafas dan membuangnya kembali. Masih dalam posisi duduk dengan lengan kanan yang diletakan pada bahu istrinya. "Kamu tau? Harapan setiap orang tua itu ada di anak-anak yang selalu mereka banggakan. Dan mereka selalu memilihkan pilihan yang menurutnya terbaik untuk putra-putri-nya. Walaupun kadang caranya salah. Kamu perlu tau perjuangan setiap orang tua dalam mendidik dan merawat malaikat-malaikat mereka sangat sulit." jedanya sejenak. "Dan ini gak cuma untuk kamu," Ayahnya mengalihkan pandangannya kepada anak-anaknya yang masih terfokus padanya. "Ini untuk Abang sama Afi juga. Ayah harap kalian ngerti apa maksud Ayah." ucapnya menyelesaikan semua nasehatnya.

Detik dan Detak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang