"Ardan buruan, hujan."
Suara Dinda diujung sana membuatku merasa ingin menambah kecepatan mobil, tapi ya ampun ini bahkan masih jauh dari lampu merah tetapi mobil-mobil didepan sana sudah berhenti.
"Iya Dinda, bentar lagi aku sampe." Jawabku menenangkan.
"Daritadi tuh bentar lagi bentar lagi doang, aku sendirian kan. Aku takut."
Aku menarik napas panjang, seharusnya aku tidak meng-iyakan ajakan mbak Mine untuk mengantarnya ke rumah Mas Nata (dia bilang, mas Nata sedang sakit), jadi aku bisa langsung menjemput Dinda di tempat les-nya.
"Kamu neduh dulu aja, di halte depan kan bisa." Sekali lagi, aku berusaha menenangkannya padahal aku juga khawatir setengah mati.
"Ardan, kalo aku naik taksi harusnya aku udah sampe daritadi." Jawab Dinda.
Dinda, jangan buat aku semakin merasa bersalah.
"Iya, aku salah Din, aku minta maaf. Tunggu sebentar lagi ya."
"Lima belas menit."
"Hah?"
"Iya, lima belas menit. Kalo lewat, aku pulang naik taksi."
"Oke, lima belas menit."
Tut.
Dinda langsung memutus sambungan, aku kembali fokus ke jalan. Kenapa sih Jakarta di minggu siang tuh se-macet ini? Ditambah hujan.
Aku mendadak berpikir, Dinda bawa payung atau tidak? Dinda pakai jaket kan? Ah, Dinda sangat malas membawa dua alat itu, "berat dan." Katanya.
Aku mengecek jam di pergelangan tanganku, sial ini sudah lewat dua puluh menit dan aku masih terjebak macet.
Sabar ya Din, tunggu aku.
Lewat dua puluh lima menit dari janjiku dengan Dinda, aku sudah sampai di depan tempat lesnya, tapi tidak ada orang disini. Hujan semakin besar, aku tengok ke arah halte juga tidak ada siapa-siapa.
Aku berusaha menghubungi Dinda lewat telepon, tapi dia tidak mengangkatnya.
Aku melajukan mobil dengan pelan, jalanan di depan tempat les Dinda terlalu sepi dan sangat jarang kendaraan lewat. Aku berharap menemukan Dinda secepatnya.
Sekitar sepuluh menit dari tempat tadi aku melihat Dinda sedang berjalan sendirian, aku mengambil payung di kursi belakang lalu bergegas menghampirinya.
"Dinda!" Panggilku, Dinda menoleh dia sempat terkejut tetapi malah melanjutkan jalannya, kali ini lebih cepat kurasa.
Aku berlari ke arahnya.
"Dinda, ayo pulang." Pintaku sambil memegang tangannya.
"Aku bisa pulang sendiri." Jawabnya lalu melepaskan tanganku.
"Hujan din, kamu juga basah-basahan kaya gini. Ayo pulang nanti kamu sakit." Bujukku sekali lagi.
"Gamau, aku bisa pulang sendiri." Ucapnya lagi, kali ini dengan penuh penekanan.
Aku menghembuskan napas berat. Tidak, aku tidak boleh menangis.
"MASUK MOBIL SEKARANG!"
Dinda diam, dia pasti terkejut karena baru kali ini aku membentaknya. Aku juga diam, aku tidak menyangka dapat berkata begitu keras kepadanya. Bodoh, Ardan bodoh. Ini semua karena aku tidak dapat mengendalikan emosiku.
Aku melihat Dinda menundukkan kepalanya, apa aku baru saja membuatnya menangis? Entah sudah ke berapa kali aku mengatakan maaf kepada Dinda didalam hati.
"Din...." Panggilku pelan, aku menarik tangan Dinda. Dinda menaikkan kepalanya, menatapku.
Tidak, Dinda tidak menangis. Ia menatapku tajam dan mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak aku harapkan.
"Kita putus!" Ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.
IYA SOALNYA KESEL SAMA ARDAN.