"Ardan pergi dari tadi pagi, kenapa Din?" Kalimat yang baru saja aku mba Mine ucapkan dari seberang telepon mengejutkanku. Tidak biasanya Ardan pergi keluar di hari libur, kecuali ke rumahku.
"Gak apa-apa mba, kalo Ardan pulang bilangin ya Dinda nyariin."
"Iya Din, kalo ada apa-apa bilang mba ya, cerita sama mba."
"Iya, aku tutup ya mba. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam."
Sambunganku terputus, Mas Wirga masih ada di kamarku, menatapku dari kursi di depan meja belajar.
"Terus mau gimana?" Tanya mas Wirga.
"Gak tau, udah deh aku mau tidur aja." Ucapku lalu membaringkan diri diatas kasur, menarik selimut dan memejamkan mata.
"Yaudah, jangan nangis lagi. Mas tinggal ya." Mas Wirga bangun dari duduknya dan berjalan kearah pintu, setelah pintu ditutup beberapa detik kemudian aku bangun karena suara handphone.
Ada pesan masuk, itu dari Ardan.
"Ada yang perlu kita omongin, tapi janji jangan nangis."
Aku menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk berbicara dengan Ardan dan tidak lama kemudian kulihat nama Ardan di layar, aku mengangkatnya."
"Din." Ucapnya langsung.
"Assalamualaikum." Aku menyindir.
"Iya waalaikumsalam."
"Kenapa?"
"Soal omongan gue yang semalem, itu serius ya."
"Hah?"
"Soal omongan gue, itu serius." Ulangnya.
"Nggak, aku denger kok suara kamu, jelas. Cuma mau mastiin, kuping aku gak salah kan?"
"Ya kenapa sih? Jangan berlebihan deh, aku kamu terus. Kaya anak kecil."
Aku terkejut, apa sih yang dapat membuat Ardan berubah se-ekstrim ini?
"Kok diem?" Tanya nya.
"Kasih aku alasan." Aku berusaha berbicara se-tenang mungkin saat ini. Padahal aku setengah mati menahan air mataku.
"Butuh emang?"
"Iya."
"Gue bosen, gue capek sama lo, lo monoton, gak ada perubahan......."
Ardan menghentikan ucapannya.
"Din, lo udah janji buat gak nangis."
Sial, suara tangis yang sudah aku tahan sejak tadi terdengar oleh Ardan.
"Terusin omongan kamu, aku gak nangis."
"Gue ngerasa jadi pengecut kalo cuma ngomong disini, temuin gue di taman deket rumah lo. Kita ngomong disana. inget, ini cuma urusan kita. Mas Wirga sama Mba Mine gak perlu ikut campur."
Aku hanya mengangguk lalu memutus sambungan, tidak menjawab ucapan Ardan.
***
Karena jarak dari rumahku menuju taman lumayan dekat, aku memutuskan untuk berjalan kaki. Sepanjang perjalanan aku berdoa supaya ini semua hanya kerjaan iseng Ardan, dia hanya mengerjaiku.
Aku hampir sampai, aku melihat mobil Ardan di pinggir jalan seberang taman. Aku berlari ke arahnya, Ardan sedang duduk di belakang kemudi, dia membuka pintu untukku.
Aku masuk ke dalam, lalu diam. Tidak ada pembicaraan diantara kami sampai kulihat Ardan merogoh kantong jaketnya, mengeluarkan bungkus rokok dan korek, dia membuka jendela dan mulai menghisap rokoknya.
Aku sangat terkejut, Ardan tidak pernah merokok sebelumnya.
Ardan menoleh ke arahku.
"Kenapa? Kaget? Mau ngelarang?" Tanya nya.
Aku diam, aku benar-benar kehabisan kata melihat perilaku Ardan.
"Lo kalo ditanya tuh jawab. Gue nyuruh lo kesini bukan cuma buat diem terus ngeliatin gue doang."
"Apa?"
"Apa? Apaan?"
"Kamu mau aku ngomong apa?"
"Apa kek, asal jangan nangis."
Aku diam, aku rasa tangisku akan meledak sebentar lagi.
"Oh iya, disini gue mau jelasin kalo kita tuh udah putus, beneran."
"Terus?"
"Ya udah, itu doang kok. Lo gak mau ngomong apa-apa?"
"Aku butuh alasan yang kuat dari kamu."
"Sumpah, gue bosen din sama lo. Lo tuh cengeng, suka ngadu, childish, gampang ngambek, banyak maunya. Gue capek ngadepin lo yang kaya gitu."
Hujan turun, bertepatan dengan berakhirnya ucapan Ardan dan hubungan kita.
Aku menarik napas panjang kemudian tersenyum dan menatap Ardan.
"Yaudah, oke kalo itu mau kamu aku terima."
"Lo gak mau ngomong apa-apa lagi?" Tanya nya.
"Nggak. Udah kan ngomongnya? Aku mau pulang."
"Gue anter, ujan."
"Gak usah, aku bisa pulang sendiri."
Aku membuka pintu mobil lalu berjalan pelan. Terima kasih Ardan, kamu telah menambah satu alasan mengapa aku membenci hujan.
-FIN-