Aku terbangun karena suara dering dari handphone ku tidak kunjung berhenti. Sial, ini masih jam delapan pagi dan ini hari Minggu! siapa yang menghubungi ku sepagi ini?
"Halo..." Suaraku masih serak, aku yakin orang diseberang sana juga menyadari bahwa aku baru bangun, terpaksa bangun lebih tepatnya.
"Din....." Suara yang sama seraknya denganku namun terdengar lebih sedih, kulirik layar Handphone ku. Mba Mine
"Iya, kenapa mba?" Kini aku sudah tersadar sepenuhnya.
"Ardan....He's not waking up..." Suara Mba Mine semakin pelan bahkan hampir tidak terdengar.
"Maksudnya? Ardan kenapa mba?" Tanyaku panik.
"Rumah sakit, rumah sakit dekat kampus kita. Sekarang din...." Aku merasakan telingaku berdengung hebat, tubuhku bergetar. Aku bahkan tidak sanggup untuk sekedar menahan berat handphoneku.
Pintuku dibuka dengan keras, aku menoleh. Itu Mas Wirga, dia berlari dan kemudian memelukku.
Aku tidak menangis, aku masih berpikir apa maksud dari semua ini.
"Din.... nangis aja gak apa-apa. Abis itu kamu mandi terus mas anter ke Ardan."
Tangisku pecah seketika.
***
Aku terus berdoa didalam hati sekaligus menyalahkan diriku sendiri.
Ardan, maaf.
Ardan, ini semua salahku.
"Kok bisa gini sih Ne?"
Aku, Mas Wirga dan Mba Mine berdiri didepan ruang Operasi, Ardan sudah berada di dalam sekitar satu jam yang lalu.
"Gue juga gak tau Ga, tiba-tiba dapet telfon kalo mobil Ardan keluar jalur dan nabrak mobil lain."
Aku hanya menyimak obrolan Mba Mine dan Mas Wirga sambil menyandarkan tubuh ke tembok.
"Kita berdoa aja supaya Ardan gak kenapa-kenapa." Ucap Mas Wirga.
"Yang lain udah tau?" Sambungnya.
"Ayah Bunda masih di Solo, gue sengaja belom ngasih tau mereka. Mobil Ardan udah diurus sama Fadli. Nata, Teta, Mira, sama yang lain otw kesini.
Aku terus menyalahkan diriku, kalau saja kemarin aku tidak ikut menjenguk kak Bagus, kalau saja aku mengabari Ardan, kalau saja aku tidak membuat Ardan menunggu, kalau saja aku tidak bertengkar dengan Ardan, kalau saja aku tidak memutuskan hubungan kami.
Ardan pasti tidak seperti ini.
Tubuhku merosot, Aku benar-benar tidak dapat menahan ini, tangisku makin keras dan terdengar sangat memilukan. Mas Wirga yang ikut terduduk disebelahku terus berusaha menenangkan.
Tidak lama kemudian aku mendengar suara kedatangan teman-teman Mas Wirga.
Aku dituntun untuk duduk di kursi yang menempel ditembok rumah sakit, kulihat Mba Mine sedang menjelaskan hal ini kepada temannya yang lain.
Sekitar lima belas menit kemudian pintu ruang operasi terbuka, dokter keluar dari sana.
Mba Mine langsung menghampirinya.
"Dua belas jahitan kepala, tangan dan kaki kirinya patah, harus di gips beberapa minggu."
"Adik saya bisa sembuh kan dok?"
"Bisa, cuma perlu dirawat beberapa minggu. Sebentar lagi akan dipindah ke ruang rawat inap."
Tidak, aku tidak bersyukur. Aku tidak lega dengan mudah.
Kaki dan tangan Ardan...
Kepalanya....
Aku sudah merusak itu semua.