"Ini apa Dan?" Dinda menyodorkan buku tulis lama Ardan yang telah selesai dibacanya.
Ardan yang baru kembali ke kamarnya setelah dipanggil oleh Bundanya itu bingung. Ya, sekarang Dinda sedang main kerumah Ardan karena dia bilang dirinya sedang bosan berada dirumah sendirian.
"Eh? Apa ya itu?" Ardan balik bertanya.
"Ya gatau, kan aku nanya. Ini apa?" Nada suara Dinda makin rendah. Iya, dia marah. Dan Ardan bingung.
"Jangan bilang—"
"Isi curhatan kamu tentang mba Teta. Udah ya, aku mau pulang." Dinda langsung berjalan kearah pintu dengan langkah yang penuh penekanan.
"Din, jangan marah." Ardan menarik tangan Dinda.
"Apaan sih lepas ih, udah sana main sama mba Teta aja." Dinda melepas paksa tangan Ardan.
"Bawa itu sekalian." Lanjutnya sambil menunjuk gitar yang tergantung di dinding kamar.
"Din, itu kan dulu—"
"Sama aja! Mau dulu, sekarang, sama aja! Lo ya tetep lo!" Lagi-lagi Dinda memotong pembicaraan Ardan.
"Diem kan lo sekarang? Udahlah gue tau mba Teta itu lebih dari gue, gue sadar Dan." Dinda melanjutkan bicaranya.
"Din kok kasar......" Kali ini Ardan berbicara sambil menundukan kepalanya.
"Ya emang lo doang yang bisa kasar? Gue ngga gitu?"
"Udahlah ya, gue capek. Gue balik, titip salam buat Mba Mine!" Dinda kembali berjalan namun Ardan kembali meraih tangannya.
"Din tapi....kita ga putus kan?"
"Ya ngga lah, emang gue itu elo yang gampang banget bilang putus?"
"Din......."
"Apa sih elah Din Din mulu?"
"Berisik lo ya? Udah pokoknya lo diem disini, gue mau pulang"
"Aku anter."
"Ga usah, gue bisa naik taksi!"
Dinda gak salah...
Cuma Ardan lupa....
Ardan lupa kalau Dinda lagi pms....
Yha apa ini?
Maaf ya ini part ter-gak-jelas yg pernah gue bikin.
Dan ter-singkat mungkin.
Ah, ini juga part yg nunjukkin sifat asli Dinda...Iya, gue.
