"Tapi hape gue low, lo punya nomor Mas Wirga atau Ardan gak?"
"Gak ada. Cuma sebentar kok Din. Ayolah, kasian kak Bagus dia abis operasi."
Aku menimbang didalam hati, apakah aku harus ikut menjenguk kak Bagus atau tidak.
Tapi aku sama sekali tidak dapat menghubungi dua orang yang aku yakin akan mencariku.
Ini baru jam satu siang, akhirnya aku meng-iyakan ajakan temanku itu.
"Yaudah deh, janji ya cuma sebentar"
"Iyaaaa."
***
"Kok bisa sampe kaya gini sih kak?" Aku memandang perban di telinga kak Bagus. Aneh sekali, dia dioperasi karena telinganya tersangkut pintu saat sedang berjalan.
Aku kasihan, namun tidak dapat menahan tawaku.
"Lucu ya dek? Ketawa aja ketawa." Kak Bagus tersenyum saat mengatakan hal itu.
Sesaat aku merasa bahwa senyumnya itu sangat indah.
"Lagian ada-ada aja sih kak, ini mau makan buah yang mana kak? Aku kupasin."
"Mau apel deh dek, suapin ya sekalian hehehe."
Dia tertawa, aku juga tertawa. Aku sudah dekat dengan kak Bagus sejak aku masuk kuliah karena dia senior yang satu jurusan denganku dan dia banyak membantuku saat dikampus.
"Kak kan yang sakit telinganya, bukan tangannya. Makan sendiri dong." Candaku sambil mengupas kulit apel yang aku beli di jalan tadi.
"Jadian aja deh kalian, gue kaya nyamuk ya disini." Aku menoleh kearah Fani, teman yang mengajakku menjenguk kak Bagus.
"Makasih ya Fan udah bawa Dinda kesini, nanti kalo sembuh gue traktir deh."
"Hah?" Tanyaku, karena aku tidak mengerti dengan pembicaraan Kak Bagus dan Fani disini.
"Iya din, gue tuh dipaksa bawa lo buat jenguk kak Bagus, dia tuh maksa-maksa gue."
"Kak, beneran?"
"Kalo kakak bilang iya kamu marah ya din?" Ucapnya sambil menunduk.
Tolong, aku gemas.
"Ngga kok kak, aku gak marah. Ini dimakan apelnya." Ucapku lalu menyodorkan potongan apel ke arah kak Bagus dan dia langsung memakannya.
"Tuh kan gak marah, eh din mau pulang jam berapa lo, betah ya disini."
Aku menoleh ke jam yang menempel di dinding belakang pintu kamar, astaga ini hampir jam delapan malam. Padahal aku hanya mengobrol dan sempat makan juga disini.
"Kok udah malem sih?" Tanyaku.
"Lo aja keasikan ngobrol sampe gak sadar waktu, ayo balik. Mau dianter kan?" Tawar Fani.
"Eh iya Fan, kak aku pulang dulu ya." Aku pamit ke Kak Bagus dan dia tersenyum.
Kenapa senyumnya itu membuat hatiku berdebar?