Pembunuhan 3

865 16 0
                                    

"Oke, semua, duduk membuat lingkaran kecil," Perintah Zacky.

Aku dan ketua organisasi lainnya duduk dengan betis yang di silangkan.

"Jadi apa kabar sekarang? Kalian tahu apa maksud saya manggil kalian kesini?" Tanya Zacky sangar.

"Apa?" Tanya salah seorang ketua organisasi lain.

"Saya mau kasih tugas sama kalian. Pertama, PMR kalian harus kumpulin macam macam obat obatan. Pramuka, kalian harus kerja keras buat pindahin orang orang sekolah ke tempat yang lebih aman. Kamu, PKS jaga semua penjuru angkatan waktu kita pindah,"
Suruh Zacky.

"Terus Paskibra? Kir? OSIS? Apa guna mereka?" Ketua PMR menyanggah.

"Iya, terus kita pindah buat apa? Kok mendadak banget?" Sanggah ketua Paskibra.

"Jadi kita pindah itu buat tangkap tokoh utama dari kasus pembunuhan kemarin. Untuk cabang cabang organisasi yang lainnya, kalian bisa jaga jaga setiap angkatan," Jawab Zacky.

"Emangnya dimana? Terus kenapa OSIS cuman bertugas jaga jaga? Bukannya OSIS itu induk organisasi ya? Kok aneh," Sanggah ketua PMR lagi.

"Tempatnya udah di tentukan. Kalian jangan buruk sangka dulu sama OSIS karena OSIS itu bekerja keras di belakang," Jawab Zacky.

"Ye, kalo gitu mah mendingan liburin aja. Ribet banget," Gumamku.

Zacky langsung menoleh ke arahku, "Sementara sekolah di liburkan, paling cuman sampai 3 hari. Tapi kita harus tetep sekolah karena UN hampir di depan mata,"

Semuanya menarik napas panjang, senang. Akhirnya sekolah ini ada liburnya. Meskipun hanya tiga hari dan libur karena kasus mengerikan seperti ini, kita tetap bahagia. Tapi aku benar benar harus menjalankan tugasku juga. Menunjukan, bahwa pembunuh itu bukanlah Purnama.

•••

Pagi yang cerah, tanpa suara alarm yang bisa memecahkan kaca di pagi ini.
Meski begitu, aku tetap bangun pagi. Entahlah, aku sangat suka bangun pagi.
--satu menit aku melamun di atas kasurku.
"Ya tuhan, bukti itu!" Aku melompat dari tempat tidurku dan mulai mencatat lagi.

Aku berpikir dan berpikir. Kapan pembunuh itu bisa tertangkap? Ah sudahlah, aku yakin dan yakin kalo sebenarnya pembunuhnya bukan Purnama!

Tiba tiba ponselku bergetar kencang, memanggil tanganku agar cepat menangkapnya dalam hitungan kurang lebih dari dua menit.

"Flo!!!" Teriak Quin dari sebrang sana.

"Apaan cabe?" Jawabku jutek.

"Cabe? Maaf mbak, tolong intropeksi dulu sebentar. Eh Flo, aku mau main ke rumah kamu dong. Boleh gak?"

"Boleh, boleh banget. Sini, gak ada siapa siapa kok,"

"Oke deh. Sekarang aku berangkat ya. Goodbye cabe cabean!"

Nitt...

Telepon dari Quin tertutup.

Akupun mulai menulis tentang kematian teman sebelah kelasku. 

Dengan sangat hati hati.

Ya, hati hati.

Sekolah terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang