"Little taste of heaven"

240 3 0
                                    

Purnama berjalan di sampingku. Wangi lamanya merasuki paru-paru yang terpesona akan kehadirannya yang kembali. Di balik wanginya yang kurindukan, aku pernah jadi pengembara. Pengembara mimpi-mimpi liar yang tidak mau tahu soal realitasnya. Namun kali ini mimpi-mimpi liar itu berhasil mengubah realitasnya yang ingin kembali meresapi wanginya.

"Maaf ya," ujarku. "Waktu itu..."

"Udah dimaafin, kok. Takut amat."

Aku tersenyum. Purnama juga.

Waktu masih berjalan, detik masih digerogotinya. Hening lagi-lagi menengokku dan Purnama. Ingin rasanya bibir ini mengeluarkan suara, pertanyaan yang sudah lama tersimpan. Namun, otak berputar, mencari pertanyaan. Berharap satu kalimat saja terlontarkan kepadanya. Namun hasilnya nihil.

"Boleh, kan, aku main ke rumah kamu?" Purnama akhirnya memecah keheningan.

"Hah? Mau apa?" tanyaku heran.

"Kalau enggak boleh, gak apa-apa."

"Tapi, kan, ini UN?"

"Aku kan mau belajar, memangnya aku mau apa, gitu, ke rumah kamu?"

"Kirain...."

"Dikira mau PDKT, ya?" Purnama tertawa kecil.

"Amit-amit."

"Ya udah, duduk di sini, ya, nona nektar."

Aku mengenyritkan alis. "Nona nektar?"

"Enggak ah." Dia tersenyum sambil pergi. "Kalau aku lebah, kenapa kamu aku sebut nektar? Tebak, jangan telmi!" Purnama balik lagi dan langsung pergi kembali.

Aku tersenyum kecil sambil menekukkan alis. Juga menahan napas di debaran jantung yang tergesa-gesa.

Aku menunggunya. Dia lama sekali. Pikiranku dari tadi masih diselimuti cerita-cerita tentang Purnama.

"Assalamu'alaikum neng Nektar." Purnama datang tiba-tiba. Parahnya, dia membawa motor.

"Eh, kok..,"

"Udah lah, lagi UN, pensiun dulu jadi PKSnya."

Aku masih kaget. "Kok, berani, sih? Gimana kalau Bu Keke lihat?"

"Alah, Bu Keke mah udah suka sama aku. Yang ada juga kamu yang marah ke Bu Keke gara-gara cemburu."

"Ih, apaan banget, ya." Aku tersenyum malu lagi.

Purnama tersenyum. "Ya udin, duduk dong," pleset Purnama.

Aku menaiki jok motornya yang super bersih. Begitulah dia, apik.

"Kok naik?"

"Ya terus?"

"Aku, kan, nyuruh duduk. Kamu gimana, sih." Purnama tertawa kecil. "Duduk mah, bisa di kursi yang tadi, trotoar, tengah jalan juga bisa. Kenapa jadi di motor aku?"

Aku memalingkan wajah, tidak ingin melihat Purnama.

"Udah, cepet." Aku memukul bahunya sambil menahan tawa.

Purnamapun mengendarai motornya pelan sambil bergumam kecil, seperti masih ingin bercanda namun aku tidak menghiraukannya.
Teringat juga, waktu tadi Purnama salam, aku tidak menajawabnya. Jadi aku menjawab sambil bergumam saja. "Wa'alaikumsalam."

Rumah demi rumah telah terlewati. Bagusnya, tidak ada siswa yang melihatku dengan Purnama pulang barengan. Khususnya Quin, yang masih kontra terhadap hubunganku dengan Purnama.

"Ye, stop." Aku menepuk bahu Purnama pertanda berhenti.

"Ini rumah kamu?"

"Iya, masa lupa."

Purnama nyengir.

"Itu apa?" Kalung seindah langit lazuardi di lehernya menggantung, keluar dari seragamnya.

Buru-buru Purnama memasuki kalung cantiknya, tanpa satu kalimat yang terlontarkan. Dan tatapan dingin itu kembali lagi.

"Aku..., pulang, ya?" Aku nyengir.

"Oh, iya." Suara dalam itu kembali juga. "Nanti malem." Purnama tersenyum terpaksa.

"Iya, jangan lupa bawa nasi karena aku gak mau ngasih makan." Aku tertawa, namun Purnama masih dengan senyum terpaksanya.

"Makasih."

Purnama pergi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sekolah terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang