Ujian

167 5 0
                                    

Besok adalah hari yang bisa dibilang "medan perang" oleh para siswa. Begitupun aku yang memiliki cita- cita tinggi menggapai mimpiku masuk ke sekolah favorit di pulau ini.
Katanya aku pintar, tapi nem untuk masuk ke sekolah yang aku inginkan harus hampir sempurna. Ini tak mudah, namun semoga saja aku bisa melakukannya.

Tapi jika aku masuk ke sekolah yang aku inginkan,
Aku akan jauh dari semuanya. Semua yang akan ku rindukan.

"Purnama!" Aku memanggil namanya dari jauh sembari memberanikan diri,

Dia menoleh kebelakang dan melanjutkan lagi perjalannya,

"Purnama!" Teriakku lagi,

"Pur, tunggu," Aku menarik lengannya,

"Hmm?" Jawabnya dingin,

"Pur, maafan yuk," ujarku. "Pur?"

"Hmm?" Jawabnya dengan sama,

"Gak baik kita diem terus kayak gini. Kamu gak mau support aku supaya aku bisa memenuhi keinginan aku?"

"Emang keinginan kamu apa?"

"Aku pengen maafan aja kok sama kamu, soalnya aku ngelanjutin sekolah di luar kota,"

"Aku maafin,"

"Dingin amat sih,"

"Yang kamu pengen kan itu?"

"Pur..., please,"

"Kamu mau apa lagi sih?"

"Aku mau minta satu kesempatan lagi buat jujur,"

"Kesempatan apa?"

"Aku kangen,"

Purnama berhenti, menatapku kaget.

"Sudahlah," jawabnya dingin disusul kepergiannya,

"Purnama!!!" Aku teriak. "Purnama si kuping aksesoris!!!"

Dia melihatku lagi.

"Telepon," katanya sambil tersenyum,

Purnama melelehkan hati yang sudah lama membeku ini. Dia begitu tampan tadi. Senyumannya terukir seperti goresan pisau mematikan. 

Harapanku, Purnama bisa kembali.

●●●

Soal demi soal telah ku kerjakan dengan hati-hati. Semua yang ada di sini hampir sama seperti yang sudah disimulasikan 2 bulan kebelakang. perbedaanya, jantung ini berdebar lebih kencang, juga keringat dingin yang turun lebih deras.

"Flo!" Panggil Alex pelan,

Aku membalikkan badanku,

"Lavender." Alex mengisyaratkan soal yang dia tanyakan.

"Hmm.." aku mencari kembali soal demi soal. "C, Lex."

Alex mengacungkan jempolnya, pertanda terimakasih.

Terpikir kembali, tentang nama yang dikumandangkan hati. Bergema, memasuki pikiran yang fokus akan soal-soal harapan akhir. Wajahnya yang kembali seperti masalah baruku, mengikuti alur pikiranku kemana saja. Kemarin malam, baru saja aku mendengar suaranya. Dalam, sedalam lautan rahasia. Di misterius suaranya, terselip suara manis. Suara itu berperi tentang hangat hatinya karena aku masih di sini. Senyumanku lagi-lagi terpancing.

Karena terlalu lama termenung, soal-soal di hadapanku kini terdiam, memperhatikannku. Aku kembali meladeninya, menyimpan suara dalam itu di ruang hati yang rahasia. Siapa tahu, Purnama punya bakat cenayang, bisa mengetahui apa yang kalbu simpan.

Detik digerogoti waktu tanpa berhenti. Sebenarnya aku masih ingin memeriksa jawabanku lagi, sih. Tapi bel mendorongku pergi dari ruangan ini. Dengan hati yang ikhlas dan pasrah, aku dan teman-teman di sini melangkah cepat ke luar.

"Flora," panggil teman-teman saat aku menutup ranselku. "Itu, ada yang nyari."

Mata sayu dengan muka datarnya menojol diantara wajah-wajah familiar lainnya. Aku menghampirinya pelan, tidak seakrab di telepon kemarin.

"Hai," sapanya. "Pulang bareng?"

Aku mengangguk canggung.

"Gara-gara kamu, aku jadi pengin pulang bareng," katanya. "Jadi pengen cerita. Kalau di telepon, habis pulsa," celetuknya.

"Alesan," jawabku sambil tertawa menggelitik. "Bilang saja--"

"Kangen?" susulnya. "Bukan kangen, tapi rindu."

Aku mendadak tersenyum lebar dan mendorong pelan Purnama.

"Sok film-film romantis, lah," aku mencibir Purnama. "Sok iye, kayak yang serius."

"Serius? Emang aku bercanda, gak serius. Dih gede rasa." Purnama tertawa terbahak-bahak.

Rasa malu menyelimuti sekujur tubuh. Aku terdiam, namun masih berlaga percaya diri di hadapan Purnama yang belum selesai dengan urusan tawanya yang penyebabnya tidak lucu.

"Ih, bukan gitu!" aku mendilak.

"Iya, iya." Purnama berusaha memberhentikan tawanya. "Ya sudah lah, ayo pulang."


Sekolah terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang