11

33 3 0
                                    

Karena perhatian dari dirimulah
Yang selalu kunantikan.

.

AKU terbangun secara tiba-tiba. Dadaku terasa seperti sedang ditekan oleh sesuatu yang kuat. Nafasku tersengal-sengal. Aku membuka mulutku tetapi tidak bisa. Aku mencoba untuk membangunkan Kak Aiden. Mataku berair. Dan pada akhirnya, semuanya hitam. Dan aku kembali tertidur.

Author's pov;

Henny dan Aiden menangis diluar kamar ugd. Mereka kerap menyebutkan nama Nabilla dalam doa mereka. Insiden tadi pagi, benar-benar membuat mereka terkejut. Terutama Aiden yang terbangun karena nafas Nabilla yang tersengal-sengal itu.

Dokter keluar dari kamar ugd. "Keluarga dari nona Nabilla?" Sontak Henny dan Aiden langsung menghampiri dokter. "Jadi, gimana dok? Nabilla kenapa?" tanya Henny.

"Tadi setelah saya ronsen, hasilnya ini." Dokter pun menyerahkan hasil ronsen paru-paru Nabilla. "Terdapat genangan air di paru-paru. Terendam dikarenakan oleh katup jantungnya ada yang bocor. Saya langsung meronsen paru-parunya karena saya tahu pasti paru-parunya bermasalah. Dan sekarang, saya akan memindahkan Nabilla ke ruangan icu. Tolong anda tanda tangani di sebelah sini."

..

Sementara itu, Dafa, ia mencari-cari Nabilla sedari tadi. “Kok cewek sialan itu nggak muncul juga, ya?” batin-nya. Ia kerap mencari Nabilla. Dan feelingnya mengatakan bahwa ada yang tidak beres. Dafa pun menemui Bianca, "Bi, lo liat Nabilla, nggak?"

"Lah, gue juga nyari Nabilla."–Bianca menutup mukanya dengan kedua tangannya–"gue kira lo tau, Daf."

Dafa mulai gelisah. Ia takut feelingnya benar. "Dia nggak pernah kayak gini, 'kan? Maksud gue, ya, biasanya dia ngehubungin lo kalau dia nggak akan masuk, ya 'kan?" Bianca mengangguk. Dafa duduk di samping Bianca. Bianca pun membuka kedua tangannya lalu segera memeluk Dafa. Sementara itu, Dafa masih terdiam. Pikirannya kacau.

"Gue takut ada sesuatu yang buruk terjadi!" ucap Bianca. Dafa masih terdiam. Matanya masih mencari-cari sosok wanita tersebut. Dafa bangkit dari bangkunya lalu meninggalkan Bianca. Ia berlari menuju kelasnya lalu segera mengambil tas ransel miliknya. "Woy, mau kemana lo?" Tanya Hafidz, teman karibnya. Dafa tersenyum sembari tangan kirinya memegang pundak Hafidz. "Gue mau nyari bidadari." jawab Dafa.

Ya, bidadari yang memiliki senyum paling manis. Gue baru sadar kalau dia emang cantik. Kemana aja gue ya, haha.” batin Dafa. Hafidz tertawa. "Bilang ya gue izin. Kakak gue mau lahiran." ucapku. "Lah, lu 'kan kagak punya kakak."

Dafa berlari keluar dari ruang kelasnya. Sementara itu Hafidz menggeleng-geleng, “Dasar anak itu!” batin Hafidz lalu kembali duduk di bangkunya sembari bercakap-cakap dengan Candra.

Dafa masih berlari menyusuri koridor, disana, ia bertemu Julie dengan Harris. "Oi, bro! Lu mau kemana?" tanya Harris. "Gue ada perlu." jawab Dafa.

Ia membuka kunci mobilnya lalu segera menaiki mobil tersebut. Ia melempar tas ranselnya ke jok belakang dan menyalakan mesin kendaraan miliknya. Setelah itu, Dafa menancap gas. Di depan gerbang, Dafa ditahan. Pak Tarjo, satpam sekolahan-nya, mengetuk jendela mobil di tempat pengemudi. Dafa pun membuka jendela mobilnya. "mau kemana?" tanya Pak Tarjo.

Dan disitulah otaknya mulai bekerja, ia terus mencari alasan agar satpam tersebut percaya dengannya. "Cepat masuk kamu! Bentar lagi bel berbunyi!" suruhnya. "Maaf banget, pak. Tante saya mau nikahan. Ini juga mendadak dan saya awalnya nggak tahu." ucap Dafa–tentu saja ia berbohong! Toh, semua tantenya sudah menikah–setelah itu hening terjadi.

Pak Tarjo tampak sedang berpikir, "bener, nih?" tanya-nya. Dafa mengangguk. "Yasudah, kamu tunggu disini, saya panggil Pak Yudith." Dafa menepuk jidatnya. Yatuhan. Mengapa dia tidak bisa dibohongi, sih?

Dafa memasang ekspresi cemas. "Yaampun, pak. Saya sudah tidak memiliki waktu lagi! Ntar kalau saya dimarahi orangtua saya karena tidak datang tepat waktu, bagaimana? Ntar ibu saya kirim pesan ke Pak Yudith, kok." bohong lagi.

Pak Tarjo mengangguk lalu ia membuka kunci gerbang sekolahannya. Disitu, Dafa tersenyum penuh kemenangan. Ia segera menancap gasnya, "Dah bapak!" teriaknya dari dalam mobil lalu tertawa sendiri seperti dirinya sudah mendapatkan sebuah hadiah yang benar-benar berharga untuknya. Ia menutup jendela mobilnya.

Lagu Intuisi milik Yura Yunita diputar oleh radio kesukaan-nya.

..

Sementara itu, di rumah sakit, Henny dan Aiden melahap santapan makanannya di cafe rumah sakit ini. Oh, ralat, Henny tidak melahap santapan makanannya, melainkan ia hanya terbengong sembari mengaduk-aduk sup ayamnya. "Bu, makanlah." suruh Aiden. Henny hanya tersenyum, "Ibu nggak lapar, nak. Ini sup ayamnya buat kamu aja." ucap Henny sembari menyerahkan sup ayam miliknya ke Aiden. Tentu saja Aiden menolaknya! Henny belum makan dari pagi. "Ibu harus makan! Aiden nggak mau kalau ibu tar ikutan sakit."

Henny tidak menjawab apapun. Ia masih memikirkan tentang anak gadis satu-satunya yang sedang tertidur di ruang ICU. Tidak terasa, air matanya terjatuh. Sontak Aiden langsung bangkit dari bangkunya dan segera memeluk ibunya. "Nabilla..." lirih Henny. "Ibu nggak bisa terus mikirin Nabilla, ibu juga harus memikirkan kesehatan ibu! Nabilla bakalan sembuh, kok. Aku yakin akan hal itu." Henny tersenyum sembari menatap kedua bola mata anak lelakinya tersebut. "Aiden terus berdoa buat Nabilla, ya." suruhnya dengan lembut. Ia mengusap kepala anaknya. Aiden hanya mengangguk lalu mereka berpelukan.

..

Shit! Nggak ada orang, lagi!” umpat Dafa yang sedari tadi memencet bel rumah sang gadis. Sudah beberapa kali missed call dan bel tetapi hasilnya nihil. Sebenarnya kemana gadis tersebut? Dafa duduk di kap mobilnya sembari menunggu kabar dari sang gadis. Tiba-tiba saja ada mobil sedan berwarna putih datang. Seorang pemuda keluar dari mobil tersebut.

"Nunggu siapa?" tanya sang pemuda. Dafa turun dari kap mobilnya. "Nunggu–" sang pemuda tersenyum. "Pasti Lala, ya?" Lala? Siapa Lala?, Batin Dafa.

Dafa tidak melontarkan satu katapun. Tidak menjawab pertanyaan sang pemuda. "Maksudnya Nabilla. Ya, 'kan?" Dafa mengangguk. "Nabilla, dia di rumah sakit."

.

Love?Where stories live. Discover now