Cahaya merah dan biru terlihat seakan mereka saling mengejar satu sama lain dalam arena lingkaran yang monoton kala mereka menyilaukan mata Orion. Keramaian di depannya nyaris terasa menyesakkan, namun Orion tetap belum beranjak dari tempatnya—tidak seperti biasanya.
Desas-desus mewarnai malam yang dingin. Pita hitam-kuning yang menutupi area tempat orang-orang berkumpul di sekitarnya tidak membantu. Kata "tragedi", "menyeramkan", dan pertanyaan-pertanyaan menggantung di udara. Para polisi berseragam gelap masih mengecek TKP untuk kali terakhir. Sebagian besar dari mereka sibuk mengusir pejalan kaki yang berhenti untuk menonton atau manusia-manusia berkamera, namun mengabaikan Orion sepenuhnya.
Area yang dipagari dengan pita polisi tampak lebih jelas sekarang. Ia dapat mencium bau darah. Mata Orion pertama tertumbuk pada sedikit warna merah yang kontras dengan salju kotor yang telah menumpuk di tanah, lalu pada punggung mayat yang menghadap ke arahnya, serta mata bening yang menatap Orion balik—kepalanya yang awalnya normal kini sudah diputar seratus delapan puluh derajat. Lengan kanannya kelihatan seperti syal, karena lengan yang sama melingkari leher dan kepala si Mayat seperti kain. Mungkin itu penyebab kematiannya. Mungkin itu yang mencekiknya sampai mati : lengannya sendiri. Itu, atau tubuhnya yang sudah tidak berbentuk lagi. Tubuh yang meningatkan Orion pada lap yang baru diperas.
Salju kelabu mulai turun lagi, jadi Orion yang masih belum merasakan apa pun membalikkan punggungnya dan berjalan pergi, merapatkan mantelnya untuk mempersiapkan perjalanan pulangnya yang diwarnai embusan angin yang kembali melanda Kota Shindairo. Angin yang akan mengubah segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament in Gray
ActionDi dalam Kota Shindairo yang padat, monoton, dan serba abu-abu, hiduplah Orion Carlouise, seorang detektif privat berumur 24 tahun yang mampu meretakkan dinding, menghancurkan pintu, dan mengangkat mobil dengan satu tangan. Ketika ia masih kecil, ia...