"Kau kelihatan sedih."
Orion tidak mengacuhkan gadis yang membuat ulang tahunnya berubah menjadi tanggal 29 Februari itu.
"Orion?" panggil gadis itu lagi.
Orion tidak menduga kalau ia akan diganggu oleh seseorang, apalagi gadis ini, saat tengah duduk di belakang sekolah yang terpencil. Ia mengisap rokoknya lagi.
"Orion?"
Orion masih tidak bergeming. Bayangan Yuna yang melompat keluar balkon masih terkilas balik dalam benaknya. Ia tidak ingin pergi ke sekolah, namun ia tidak ingin membuat Terra makin cemas. Gadis yang lebih tua darinya itu sudah tampak cukup kacau—menjerit-jerit ketika menjungkirbalikkan barang-barang, tidak tidur, tidak makan, dan terlihat lelah. Biar begitu, Orion memutuskan untuk tidak masuk kelas.
"Orion?" perempuan tersebut juga keras kepala.
"Bukankah kau seharusnya pergi makan?" gumam Orion. Ia menghembuskan asap lagi. "Ini jam istirahat."
"Bukankah kau seharusnya masuk kelas?" perempuan tersebut balik bertanya. "Ini masih jam sekolah."
"Jangan atur-atur aku."
Perempuan itu cemberut. "Kalau begitu, kau juga tidak bisa mengaturku."
Ia duduk di sebelah Orion, yang sedang duduk bersandar pada tembok gedung bagian belakang. Tidak ada yang mengalasi tubuh bagian bawah mereka selain batu bata. Seekor kucing menghampiri mereka dari kejauhan, namun tampaknya tidak ingin mendekat.
"Kau menakutinya," kata si Perempuan. Tidak ada nada negatif di dalam suaranya—hanya monoton saja.
Jeritan Terra ketika Yuna terjun bebas ke bawah masih terngiang-ngiang di telinga Orion. "Bisa saja kau yang menakutinya."
Si Perempuan tertawa kecil. "Tapi kaulah yang sedang punya aura gelap sekarang."
Orion memberengut. Perempuan itu tersenyum. Lalu, ia terbatuk-batuk. Kencang.
Orion teringat pada senyum terakhir Yuna. Senyum yang ternyata memang berniat mengatakan selamat tinggal.
"H—hei! Kau tidak apa-apa?!" Orion berseru, memegangi bahu si Perempuan agar ia dapat melihat wajahnya. Tidak. Ia tidak akan membiarkan satu orang lagi.... Satu orang lagi....
"Rokok," katanya, masih berusaha menarik napas. Suara berdecit keluar dari tenggorokannya, seakan ia sedang dicekik.
Orion tidak dapat berpikir di antara kepanikannya. Rokok?
"Rokok," kata perempuan tersebut lagi. "Aku—" batuk lagi, "alergi asap rokok."
Buru-buru Orion menginjak rokoknya seakan-akan benda tersebut adalah setan dari neraka. Batuk si Perempuan berhenti tidak lama kemudian.
Dan yang pertama kali Orion katakan adalah, "Dasar bodoh! Kalau kau alergi, kau seharusnya bilang!"
Si Perempuan sedang sibuk bermain dengan kucing tadi. "Kau sepertinya sedang benar-benar memerlukan rokok tadi."
Orion sudah ingin protes lagi, namun matanya yang buram mengalihkan perhatiannya. Ia berkedip, berusaha menyingkirkan buram tersebut, namun yang ia rasakan adalah basah yang mengaliri pipinya. Ia teringat pada Yuna lagi. Yuna tidak pernah menangis. Ia tidak pernah kelihatan lemah. Ia selalu tersenyum. Kemudian, ia meninggal begitu saja. Kenapa orang-orang yang penting di dalam hidupnya selalu pergi begitu cepat?
Seakan tahu apa yang sedang terjadi, si Perempuan melepaskan kucing yang sedang ia gendong dan berlutut di sebelah Orion. Perlahan, ia menarik kepala Orion ke dalam pelukannya.
Itu adalah salah satu momen di mana kata-kata tidak lagi bermakna; titik di mana basa-basi tidak dapat menyembuhkan apa pun. Orion tidak butuh rasa kasihan; ia sudah cukup mengasihani dirinya sendiri. Dan itulah yang gadis itu pahami. Karena itu, ia memeluk Orion dengan begitu erat, begitu tulus, sampai-sampai Orion tahu, kalau ia tidak ingin kehilangan gadis ini.
Tapi, teringat pada kekuatannya yang tidak terkontrol, yang sudah pernah melukai orang-orang, Orion tidak berani memeluk balik. Ia hanya dapat menikmati kehangatan yang gadis tersebut tawarkan.
Seakan membaca pikirannya, gadis tersebut menyandarkan kepalanya di atas milik Orion dan berkata, "Oh, ayolah."
Suara Orion masih diselang-selingi isakan. ".... Aku bisa membelahmu menjadi dua kalau aku tidak sengaja menggunakan kekuatanku dengan terlalu keras, kau tahu. Dan aku sedang tidak bisa mengontrol kekuatanku."
Bukan sebuah rahasia kalau Orion adalah seorang manusia supernatural ketika ia tidak sengaja membelah dua mejanya akibat frustrasi pada kimia. Orion belum dikeluarkan dari sekolah karena pengaruh Terra. Semua orang menjauhinya seperti wabah menyebar, meski mereka sendiri juga manusia supernatural. Semua, kecuali gadis yang memeluknya ini.
Gadis itu menyibakkan poni yang menutupi sebelah matanya. Orion terkesiap. Mata kanan gadis itu berwarna biru normal, namun yang tadinya tertutup rambut berkilau merah menyala. "Aku belum bisa mengontrol kekuatanku juga. Ini efek sampingnya : warna mataku berubah merah. Tapi, aku belajar kalau kau selalu takut pada kekuatanmu, kau tidak akan pernah bisa mengontrolnya," kata si Gadis. "Orion, kau bisa."
Orion ragu. Diletakkannya kedua tangannya pelan-pelan pada punggung si perempuan. Setelah diberikan waktu, ia menjadi tenang.
"Kau lihat? Tidak terjadi apa pun, kan?"
Orion mengangguk pelan. Dadanya terasa sakit. "Aku takut, Robin."
Robin diam saja.
"Aku takut. Dia... melompat keluar dari balkon.... Tersenyum.... Lalu terjun.... Apa kau akan terjun juga?"
Robin mencium kening Orion. "Tidak."
Jadi, mereka duduk dan bercerita. Orion bercerita tentang meninggalnya Yuna yang lebih tua empat tahun darinya. Ia merupakan salah satu orang pertama yang mengalami percobaan tersadis Walter. Orion juga bercerita mengenai Terra, dan tentang perasaannya yang tidak pernah dikeluarkan kepada orang lain di luar kedua saudaranya sebelumnya. Sebagai gantinya, Robin bercerita lebih lanjut mengenai kekuatannya, tentang bagaimana ia belum bisa mengontrolnya dan sering ikut kesakitan ketika orang lain terluka, tentang kakaknya yang menghadiahinya beberapa cincin tebal yang bisa dipakai untuk bela diri sebagai hadiah ulang tahunnya, tentang adiknya yang sudah meninggal, dan tentang kejadian di kelas yang Orion lewatkan tadi.
Dan mereka duduk saja sampai sekolah berakhir.
Memoirs : Orion
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament in Gray
AcciónDi dalam Kota Shindairo yang padat, monoton, dan serba abu-abu, hiduplah Orion Carlouise, seorang detektif privat berumur 24 tahun yang mampu meretakkan dinding, menghancurkan pintu, dan mengangkat mobil dengan satu tangan. Ketika ia masih kecil, ia...