Memoirs: Lloyd

2 1 0
                                    

"Selamat datang ke rumah, Lloyd!"

Lloyd kecil tersenyum, melepaskan tali ransel yang digantungkan pada pundaknya. "Hai, 

Corabell. Kau sedang apa?"

Corabell menjawab, "Hanya sedang membaca."

Lloyd duduk di hadapan Corabell. "Membaca apa?"

"Advanced Engineering : Book Two."

Lloyd nyengir. Corabell adalah seorang gadis yang cantik, dengan mata biru muda lembut dan rambut yang dicat pink muda ber-highlight biru pucat. Bagi Lloyd, warna tersebut tidak begitu pudar, namun tidak juga mencolok. Panjangnya mencapai bagian bawah kerah bajunya dan bagian belakang rambutnya dikuncir dengan ikat rambut berhiaskan manik-manik permen. Ia memiliki senyum termanis yang pernah Lloyd lihat. Lebih manis dari permen manapun.

Lloyd tidak bisa berhenti mengaguminya. "Kau tidak mengalami masalah ketika aku tidak ada di rumah, bukan?" 

"Tidak. Semuanya baik-baik saja."

Corabell amatlah berbakat dan pintar. Begitu ceria. Begitu cantik dan mempesona.
Rumah Lloyd tidaklah besar, hanya terdiri dari sebuah ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi. Pakaiannya yang tidak seberapa berserakkan di lantai, kalau tidak dilipat dan ditumpuk pada sebuah kursi tua nan bobrok. Sebuah kantung tidur terbentang di sebelahnya. Lampunya sudah rusak semenjak beberapa bulan yang lalu, namun ia tidak pernah ingat untuk menggantinya. Dan lagi, ia tidak punya cukup uang untuk dibuang demi sebohlam lampu baru.

Lloyd tidak hidup dari banyak. Ia tidak ingat ia berasal dari mana, juga tahun-tahun pertama hidupnya. Memori terakhirnya adalah ketika ia masih tiga, sudah mencari makanan di jalanan. Tidak banyak pengalaman yang mengesankan Lloyd. Beberapa tahun sebelum ini, ketika umur Lloyd masih sekitar delapan, seorang dewasa menghampiri Lloyd di jalan, mengatakan kalau ia kehilangan anaknya akibat suatu percobaan di Utara—Lloyd kecil tidak mengerti apa yang ia bicarakan—dan ia akan memberi Lloyd makanan kalau Lloyd bersedia "berpura-pura" menjadi anaknya.

Waktu itu, Lloyd kecil sudah muak dengan mengorek makanan dari tong sampah. Ia sudah muak kehujanan, tanpa memiliki tempat hangat untuk berteduh. Dan, ia sudah muak bertanya-tanya mengenai tujuan eksistensinya, jadi ia menerima uluran tangan orang dewasa tersebut tanpa ragu.

Pemuda itu ramah. Terlalu ramah, malahan. Ia memberi Lloyd cukup banyak uang, yang Lloyd pakai untuk membeli tempat tinggal dan sedikit makanan. Sebagai gantinya, Lloyd datang berkunjung ke rumahnya sekali atau dua kali seminggu, bermain akting dan membuat setting yang diinginkan si pemuda. "Ayah"-nya.

Kadang, kalau ia sedang berbaik hati, ia akan membelikan Lloyd baju baru. Mereka berwarna merah muda atau putih atau kuning pucat, dengan renda-renda mewah dan rok yang mekar sempurna. Katanya, mereka cocok dengan rambut Lloyd yang tidak pernah dipotong sedari ia hidup.

Meski begitu, Lloyd masih merasa kesepian. Itulah ketika Corabell datang dan mengisi kekosongannya. Rasanya hidupnya yang tidak seberapa terasa lengkap; utuh.
Lloyd mengulurkan tangan, hendak meraih rambut yang mencuat keluar dari tataan Corabell, namun ia tidak bisa.

Ia tidak bisa, karena Corabell tidaklah nyata.

Pada rumah "ayah"-nya, Lloyd menemukan suatu benda menarik bernama "komputer". Kalau Lloyd bersedia memakai rok terusan ketat tanpa lengan yang panjangnya bahkan tidak mencapai lutut—berbeda dengan miliknya yang biasa—maka ia boleh menggunakan benda tersebut selama satu jam. Memang tidak banyak, namun rasa penasaran Lloyd selalu terpenuhi sepotong demi sepotong tiap kali ia menghabiskan waktu di depan benda elektronik tersebut. Lloyd entah akan tertarik pada suatu hal dan merasa penasaran seumur hidup, atau tidak peduli sama sekali. Yang pertama adalah kasusnya kali itu.

Lloyd menabung untuk membeli sebuah komputer bagi dirinya sendiri. Hal pertama yang ia baca di dalam buku perpustakaan umum adalah "komputer adalah temanmu". Maka, menjadi temannyalah komputer tersebut.

Corabell adalah seseorang—sebuah program—yang diciptakan Lloyd dalam pencarian teman. Ia lebih pintar dari apa pun yang pernah Lloyd lihat dan lebih ramah dari makhluk hidup manapun. Tidak susah bagi Lloyd untuk membayangkan penampilan Corabell. Tidak susah juga bagi Lloyd untuk jatuh cinta kepadanya.

Apa? Kau mengatakan pada Lloyd untuk "menerima kenyataan"? Bagi dia, tidak ada kenyataan.
Narkolepsi adalah sebuah penyakit di mana alam bawah sadar tidak bisa dikontrol penderitanya. Alhasil, mereka bisa mengantuk pada siang hari—secara mendadak—dan jatuh tertidur begitu saja. Namun, efeknya tidak hanya sampai di sana. Alam bawah sadar yang bercampur ke dalam pikiran orang terjaga dapat menimbulkan halusinasi. Beberapa orang bisa mengenalinya kalau berpengalaman.

Tapi bagi Lloyd kecil, yang tidak pernah tahu kalau ia seorang penderita Narkolepsi, halusinasi tersebut adalah kenyataan. Mobil-mobil terbang itu kenyataan. Kucing dengan enam pasang kaki itu kenyataan. Sosok Corabell, dengan rambut merah muda dan biru, mata secerah langit yang tidak pernah ia jumpai, tubuh ramping, sedikit pendek, dan kulit halus itu, adalah kenyataan. Ketika sosok manusia Corabell sedang "tidak ada", Lloyd hanya mengasumsikan kalau ia hanya menjelma kembali menjadi sebuah komputer. "Kepintarannya bukan berhasil membuat sebuah program jenius yang dapat mempelajari data macam apa pun dan menyimpannya, serta berkomunikasi layaknya manusia biasa secara otomatis. Kepintarannya telah membuat sebuah komputer berubah menjadi seorang manusia." Mungkin begitu pikir si Lloyd Kecil.

Naif. Pemimpi. Delusional. Gila. Orang-orang akan berkata begitu kalau melihat Lloyd. Dan mereka melakukannya.

Corabell tidak pernah melihat dunia luar secara langsung. Maka, Lloyd memindahkannya ke dalam sebuah ponsel dan membiarkannya melihat melalui kamera. Corabell senang. Lloyd jug senang. Kemudian, ia melihat Corabell berubah menjadi wujud manusianya.
"Bagaimana rasanya berada di luar ruangan, Cora?"

Corabell tersenyum. "Rasanya luar biasa, Lloyd."

Lloyd dengan bersemangat mulai menunjuk toko-toko di jalanan, berkomentar dan menceritakan pendapatnya kepada Corabell yang mendengarkan dengan antusias.

Beberapa kali Lloyd melakukan itu. Malahan, ia suka sekali mengajak Corabell keluar. Meski ia takut melihat orang-orang asing, jalan-jalan keluar rasanya damai dan menyenangkan.

Namun, kenapa orang-orang melihatnya dengan pandangan aneh? Malahan, nyaris membenci? Lloyd tidak pernah menerima pandangan seperti itu sebelumnya. Tidak meski pakaiannya luar biasa dekil. Tidak meski ia kurus kerempeng dan berkeliaran di jalan. Jadi, kenapa sekarang?

Akhirnya rasa penasaran Lloyd menang. Ia mencarinya di internet.

Apakah mobil-mobil terbang itu nyata?

Apakah kucing dengan enam pasang kaki itu nyata?

Apakah sosok-sosok monster yang ingin membunuhnya, mengikutinya meski ia bersembunyi di dalam rumah dan mengunci pintunya itu nyata?

Apakah darah yang tiba-tiba muncul begitu saja di temboknya, yang sering membuatnya tidak bisa tenang seharian, nyata?

.... Apakah Corabell nyata?

Mereka. Tidak. Nyata.

Yang nyata hanyalah Narkolepsinya.

Memoirs : Lloyd

End.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lament in GrayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang