Deletion: Seven

1 0 0
                                    

     Ruangan itu lebih suram dari bagian Shindairo manapun. Di luar gedung, salju mengancam untuk turun lagi setelah satu jam berhenti, namun sepertinya tidak ada satupun dari anggota Aliansi yang peduli.

Orion melepaskan kacamata berbingkai abu-abu tipis yang bukan miliknya dan memasukannya kembali ke dalam saku kemejanya, sudah selesai membaca teks panjang mengenai sebuah lamaran kerja untuknya yang dikirim via e-mail. Ia sebenarnya tidak tertarik, namun ia butuh sebuah pengalih perhatian sejenak, karena kedua tangannya gemetaran. Topi pelautnya sudah dilepaskan dan diletakkan di atas pangkuan, karena kalau tidak, ia akan teringat pada Yuna yang menghadiahinya topi ini.

Keadaan yang lainnya juga tidak lebih baik. Devon, Revell, dan Lloyd duduk dalam diam—anak yang terakhir itu tiba-tiba tidak lagi tampak seperti bocah dua puluh dua tahun yang biasanya, bahkan dengan penampilannya yang berupa mata hijau besar bersinar (seperti hewan kecil), rambut pirang stroberi dengan potongan bagian depan yang lebih panjang dari yang belakang, topi beanie hijau daun yang kebesaran di kepalanya, aroma tubuh berupa sabun berbau manis serta permen, dan tindikan pada bagian samping bibir bawahnya yang biasa mengulum lolipop dan senyum. Duduk pada sofa di sebelah Orion, Dimitri menyilangkan tangannya di depan dada dan terus mendengarkan Terra. Auranya sangat gelap, sampai-sampai Orion takut ia akan menghancurkan seluruh gedung tempat mereka berada tanpa sengaja. Terra dan Robin tampak tenang, namun Orion tahu lebih baik.

"Em...," Lloyd mengulurkan tangannya ke atas dengan ragu, seperti seorang anak SMP yang tidak mengerti sebuah pelajaran di kelas nan gampang. "Siapa.... Walter?"

"Paris Immanuel Walter," jawab Terra dengan pahit, "adalah seorang penguasa terkutuk yang memimpin lab tempat kami dicoba-cobai. Rankingnya paling bawah di antara semua penguasa, jadi kau bisa menyebutnya sebagai 'anak buah penguasa'. Kuharap kau tahu maksudku, Lloyd."

Lloyd mengangguk pelan. "Devon sudah menceritakan.... masa lalu kalian kepadaku."

Terra geleng-geleng. "Sulit dipercaya kalau ia berniat untuk mendirikan lab itu kembali. Gedungnya sendiri masih utuh berdiri di Utara, namun data-datanya tidak lengkap—beberapa orang mengambilnya. Salah satunya adalah aku. Itulah yang dicuri oleh Kyle McReese dariku. Sekarang, Walter telah mendapatkannya kembali—dialah yang membayar bos Kyle untuk mencurinya dari kantorku."

"Dari awal, kenapa ia.... mendirikan lab itu?" Lloyd bertanya lagi.

"Uang, ketenaran, dan dia aslinya sudah agak sinting," Orion menjawab tanpa melihat ke arah Lloyd. "Kalau ia berhasil membuat seseorang punya kekuatan supernatural tanpa menimbulkan efek samping, banyak penguasa yang akan membanjirinya dengan kekayaan dan lampu sorot."

Lloyd terdiam. Orion meliriknya sejenak. Anak bertopi hijau itu naif. Masih jauh terlalu naif untuk terlibat dalam semua ini.

"Walter telah berhasil menemukan sponsor-sponsor baru, jadi ia berniat menyelesaikan percobaannya," geram Terra. "Dasar bajingan."

Orion memejamkan matanya, tiba-tiba teringat pada Yuna, dengan gaun putih sederhana dan senyum lembut pada bibirnya. Ekspresinya saat melompat dari balkon.... Orion mulai tidak bisa bernapas.

Tiba-tiba Adrian menonjok tembok dan bangkit berdiri, menyadarkan Orion. "Ini konyol," geramnya. "Kenapa kita sibuk bercengkrama di sini saat kita bisa membunuhnya?!"

Semuanya diam saja.

"Adrian...," Terra pelan-pelan berkata, berusaha mengisi mental Adrian dengan rasionalisme, "mungkin Walter adalah alasan di balik kematian Clinton. Kita tahu kalau sedari dulu Walter selalu punya pasukan supernatural elit yang menjadi penjaganya. Mereka menghilang bersama Walter saat lab ditutup. Dan kita tahu Walter ada di bawah perlindungan penguasa Utara."

"Fuck that," geram Adrian. "Mereka membunuh Lillian! Siapa pun yang mau mencegahku membunuh Walter, silahkan saja, karena mereka akan kubunuh juga."

Sontak, lantai keramik di bawah Adrian tersulut dalam api, sebelum padam karena tidak ada material untuk dibakar. Dalam waktu itu, Adrian sudah berderap keluar ruangan. Entah apa yang akan ia lakukan dengan amarah membara itu.

Terra melirik keluar jendela yang berembun, pasti sedang memperhatikan Adrian yang berjalan keluar dari gedung. "Demi segalanya yang ada di—Robin, kejar dia."

Robin menggeleng pelan padanya, sebuah tatapan sedih tidak luput dari mata Orion. Dimitri langsung bangkit berdiri dan berlari keluar dari ruangan.

Mereka ditinggal dengan hanya enam orang di dalam ruangan. Orion tahu alasan Robin menolak. Robin pernah berkata ia dan Lillian terlihat terlalu mirip terhadap satu sama lain. Jika Robin mengejar Adrian, pria tersebut malah akan lebih teringat pada adik kecilnya yang sudah meninggal.

"Robin...," panggil Lloyd. "Siapa Lillian?"

Robin tersenyum sedih. Ia pindah untuk duduk di sofa tempat Dimitri awalnya berada. "Dulunya dia adik perempuan kami. Ibu kami meninggal setelah melahirkannya, jadi aku dan Adrianlah yang menyuapinya makanan, mengajarinya berjalan, mengajaknya berbicara...." Robin menaikkan kedua kakinya ke atas sofa, hanya untuk memeluk kedua lututnya, memakainya untuk menyembunyikan wajahnya. "Aku lebih tua enam tahun darinya; Adrian tujuh. Waktu Lillian masih empat, kami ditangkap dan dibawa pergi.

Selama empat tahun kami tidak pernah melihatnya lagi. Kami kira ia akan selamat, karena waktu itu dia masih delapan dan seorang anak baru akan dipakai untuk percobaan ketika ia tiga belas, namun Adrian menemukannya mayatnya di tumpukan mayat lainnya dalam sebuah ruangan ketika ia dipindahkan ke ruang percobaan, tubuhnya nyaris sudah tidak bisa dikenali. Adrian.... Adrian dendam. Kupikir ia shock, apalagi ketika itu, ia masih lima belas tahun. Menyaksikan Lillian.... ia tidak akan pernah memaafkan baik lab itu, maupun Walter."

Lloyd menunduk. ".... Maafkan aku karena bertanya, Robin."

Robin menggeleng pelan, masih menyembunyikan wajahnya. Orion tahu ia menangis. Forgive and forget adalah jalan keluar dari pengalaman mereka. Namun, jika Adrian tidak pernah memaafkan kematian Lillian, Robin tidak pernah lupa.

"Tidak apa-apa," katanya. "Orion dan Terra juga kehilangan saudara mereka, Yuna, karena Walter. Jadi, aku tidak berhak sedih."

Terra dan Lloyd mendekat untuk menghibur Robin. Orion membiarkan mereka, tidak mau mengganggu. Ia bahkan tidak berkata apa-apa ketika Robin menjulurkan tangannya dan mencuri sapu tangannya dari saku jaket hitamnya.

Karena, terakhir kali Orion berusaha menghibur seseorang, seseorang itu terjun dari balkon mereka.

Pintu ruangan terbuka. Dimitri yang sedang menggendong Adrian yang tidak sadarkan diri muncul. Orion dan Robin menyingkir agar Dimitri bisa membaringkannya di atas sofa.

"Sori," kata Dimitri, sambil duduk di lengan sofa. "Aku tidak punya pilihan."

Robin pergi ke sisi kakaknya, menghapus sisa air matanya dengan sapu tangan Orion. "Dia memang keras kepala, jadi aku tahu kau tidak punya pilihan lain. Thanks, Di." Ia tersenyum tulus.

Dimitri mengulurkan tangannya dan menyibakkan poni Adrian yang menutupi sebelah matanya, kening berkerut. "Terra," katanya, tanpa mengalihkan pandangannya. "Misteri kematian Clinton sudah usai. Aku lumayan yakin pasukan elit Walterlah yang membunuhnya."

Diam sejenak, lalu ia melanjutkan, "Kita tidak boleh membiarkan Walter kembali melakukan percobaannya. Tidak lagi."

"Aku tahu," jawab Terra. "Namun aku tidak begitu tahu apa pun soal—"

"Utara," sela Lloyd tiba-tiba. Sadarlah Orion, kalau Topi Hijau yang seruangan dengannya ini adalah informan Utara paling jago di kota. "Terra, kalau ini soal informasi di Utara, kurasa aku tahu."

Lament in GrayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang