Deletion: One

8 1 0
                                    

     Pena tersebut melayang di luar kendali. Devon menunduk untuk menghindarinya, sementara Revell meletakkannya kembali ke atas meja dalam satu lambaian tangan. Ia bahkan tidak perlu untuk melihat pena tersebut demi melakukannya; ia masih sibuk membaca buku yang diletakkan di atas pangkuannya.

Terra mendesah cemas dan untuk kesekian kalinya, melayangkan pena lain. Benda tersebut melayang di tengah udara sebelum melesat menuju seluruh penjuru ruang kantor yang berantakan. Devon menangkapnya ketika benda tersebut melayang di depannya.

Ruangan itu tidak besar, dengan tiga meja kerja—satunya amat berantakan—dan satu sofa yang agak lebar. Lantainya terbuat dari keramik putih bersih, kalau tidak tertutup tumpukan arsip. Sementara Devon dan Revell—yang sedang duduk diam di sofa—memperhatikan bos perempuan mereka melayangkan benda kecil apa pun yang berada pada meja kerja tempatnya duduk, Adrian berdiri menyandar pada tembok di pojok ruangan, tangan disilangkan di depan dada.

Keempat orang dengan umur di sekitar dua puluh lima tersebut tampaknya tidak berniat untuk memulai percakapan. Keresahan mereka sendiri sudah buka mulut, dan itu dirasanya sudah cukup. Kalau Terra tiba-tiba memutuskan untuk melempar meja seberat lima puluh kilo mereka keluar jendela, tidak akan ada yang heran. Devon mengangkat kedua kakinya ke atas sofa untuk menyilangkannya, PSP yang berada pada kedua tangannya lagi-lagi mengeluarkan suara yang menandakan game over.

Pada saat itulah, pintu kantor terbuka dalam satu sentakan. Munculah pria bertubuh tinggi berpakaian kemeja putih, topi pelaut hitam, dan dasi hitam berhiaskan kancing warna-warni yang bentuknya kelewat kekanakan untuk bahkan disebut. Salah satu dari dua tangannya sedang mengangkat seorang gadis mungil sebayanya pada kerah jaket, sebagaimana seorang induk kucing membawa anaknya.

Gadis tersebut meronta-ronta seperti hewan kecil yang tertangkap. Si pria mengangkatnya makin tinggi dari tanah dengan mudah. "Terra, bocah ini sudah berhasil kutangkap."

Terra mengangkat sebelah alisnya dan berkata, "Kerja bagus, Orion."

Orion membebaskan gadis yang secara harfiah sedang ia "bawa". Gadis tersebut langsung berlari pergi menuju tempat Adrian berada. Adrian, yang berumur satu tahun lebih tua dari gadis berumur dua puluh empat tersebut—dan merupakan kakak laki-lakinya—menepuk kepalanya dengan lembut.

"Oke. Robin sudah ada di sini," kata Terra sambil menatap gadis yang berada di sebelah Adrian, melambaikan tangannya dengan ramah untuk menyapa gadis tersebut. "Jadi, hanya si Dimitri saja yang tidak hadir."

"Seperti biasanya," tambah Adrian judes, masih tetap di posisinya. Jaket kulit sepinggangnya yang berwarna merah tampak mencolok di sebelah adik perempuannya yang berjaket biru muda panjang.

"Adriaaaan, kalau kamu yang memanggil dia, dia pasti datang kok," ujar Robin sambil tersenyum.

"Aku saja tidak tahu dia ada di mana," gerutu Adrian.

"Telepon saja."

"Telepon dia?!"

Terra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalaupun Adrian menelepon dia, kemungkinan besar Dimitri juga tidak akan bisa datang ke sini dengan cepat, menimbang lokasi tempat pemuda itu bekerja. Kita mulai saja sekarang, sebelum tali kewarasanku putus."

Kantor tersebut terletak pada lantai kedua dari gedung tiga lantai. Dengan Terra sebagai pemilik sekaligus bos kantor, ialah yang memimpin rapat mereka. Rapat itu kecil, menimbang pesertanya yang hanya tiga orang perempuan—Revell, Terra, serta Robin—dan tiga orang lelaki—Adrian, Orion, dan Devon. Namun, total kekuatan yang dimiliki tiap individu yang hadir bisa terbilang menakutkan.

Orion duduk di kursi kerja Devon. Robin pergi dari sisi Adrian dan dengan ceria duduk pada lengan sofa di sebelah Revell. Kedua gadis tersebut bertukar sapa. Devon mendesah dan mematikan PSP-nya, siap mendengarkan Terra.

"Orion," panggil Terra. "Kuharap laporanmu tidak melebih-lebihkan kenyataan seperti apa yang biasanya tertera di berita. Bagaimana keadaan, um, Clinton di TKP kemarin?"

"Sayangnya, persis seperti di berita," ujar Orion singkat. Suaranya serius, dan ditambah suaranya yang lebih dalam daripada laki-laki seumurannya, ia kelihatan makin murung kalau tidak dibantu kancing warna-warni pada dasinya.

Terra mulai mengeluarkan koleksi sumpah-serapahnya yang membanggakan. Semua orang siap-siap menangkap meja yang mungkin benar-benar akan ia jungkir-balikkan.

"Bagus!" seru wanita itu, murka. "Jadi, desas-desus kalau tubuh Clinton kelihatan seperti lap yang habis diperas, dengan kepala terbalik dan seluruh tulang di tubuhnya remuk itu benar?! Oh, astaga."

"Kenyataan kalau Clinton sendiri bisa tewas terbunuh saja sudah kedengaran mustahil," tambah Adrian. "Kecuali kalau Dimitri jenggotan itu memutuskan untuk membunuhnya."

Terra berusaha merapikan rambutnya untuk menenangkan diri. Alhasil, rambutnya tampak seperti korban tornado level seratus. "Memang itu kelihatan seperti ulah Dimitri. Tapi pemuda itu tidak pernah membunuh."

"Dimitri bukan pelakunya," Robin berkata dengan tegas, suaranya tidak kekanakan seperti biasa. Tidak ada yang mempertanyakannya, mengingat kekuatan Robin. Adrian menggumamkan sesuatu yang berbunyi seperti, "Aku tahu si Jenggot Mewah bukan pelakunya."

"Kalau kita mempermasalahkannya pelakunya," putus Terra, "kita bisa di sini sampai lusa." Bahkan dengan piyama tebal berwarna ungu dan pink lusuh berhiaskan muka beruang dan rambut yang dikepang acak-acakan, semua orang menyetujuinya.

"Aku tahu ini kedengaran.... berlebihan, namun aku yakin kalian semua sedang ditargeti. Aku bicara pada kalian, anggota-anggota Top Five." Ia menatap Orion, Robin, dan Adrian. "Dengan meninggalnya Clinton, Adrian mengambil posisi ketiga—setelah Orion—dan Robin ada di posisi keempat. Posisi kelima kosong untuk sekarang. Aku tidak begitu mencemaskan Dimitri, namun aku cemas tentang kalian.

Clinton punya kemampuan super-adaptibility dan ia hebat dalam pertarungan jarak dekat. Dengan kemampuan adaptasi supernya, harusnya ia kebal dari serangan supernatural yang didasarkan pada elemen, jadi orang yang membunuhnya pasti entah cepat sekali—lebih cepat dari kemampuan adaptasinya—atau tidak memiliki kekuatan supernatural elemental; seperti Dimitri, contohnya. Dua-duanya sama-sama mengatakan kalau pembunuhnya memiliki kekuatan yang langka dan menakutkan."

"Mungkin pelakunya punya kekuatan telekinesis," saran Devon yang sedari tadi diam—sebagian besar disebabkan oleh fakta kalau ia adalah orang termuda di ruangan, "seperti milikmu, Terra. Namun, yang jauh lebih kuat."

"Itu kemungkinan terbesarnya," Terra membenarkan. "Tapi itupun rasanya tidak pas. Bagaimanapun, kemampuan bela diri Clinton menyaingi Orion. Telekinesis semata rasanya tidak cukup."

"Melebihiku," Orion mengoreksi dengan sukarela. "Aku lebih kuat dari dia hanya karena kekuatan terkutukku. Dan aku hanya ditempatkan di posisi kedua Top Five—satu posisi di atasnya—karena aku lebih sering membuat masalah."

"Le temps est écoulé. Sudah waktunya untuk melakukan pekerjaan kita," kata Revell tiba-tiba, mengejutkan semua orang. Ia menutup bukunya dan bangkit berdiri. "Kita pamit dulu, Miss Terra. Ayo, Devon."

Devon mengiyakan. Ia pergi untuk mengambil senapannya yang dibungkus sarung kulit dari loker dekat tempat Adrian sedang berdiri dan menyusul Revell yang sudah keluar ruangan.

Terra mengawasi kepergian kedua anak buahnya sejenak, lalu mendesah. "Aku punya rencana. Orion, Adrian, siap untuk mengunjungi seseorang yang kemungkinan besar akan kita perlukan kerja samanya?"

Lament in GrayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang